Rabu, 01 Februari 2012

Kutipan Risalatul 'Aqaaid


Bismillahirrahmaanirrahiim
“Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul 'uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii”
Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku (QS. Thoha: 25-28)

“Bacanya yang sabar ya…pelan-pelan aja ^_^, sungguh ana ingin sekali antum/na bisa memahami dan ikut merasakan manfaat yang ana rasakan..”
Tulisan kali ini pun motivasi penulisannya masih berasal dari pertanyaan seorang sahabat, beberapa waktu yang lalu ana mendapatkan SMS yang berisi pertanyaan kira-kira seperti ini :
“Kalau kita merasa jauh sama Allah bagaimana cara kita agar dekat lagi sama Allah, terus mau melakukan ibadah terasa Malas dan ngga punya Semangat?”
…ketika ana membaca sekilas pertanyaan tersebut, dalam hati ana berkata :

“hmm…fenomena seperti ini mah… memang sering terjadi dikalangan kita termasuk ana pribadi”

Setelah sedikit bergumam, lalu ana-pun mulai menyalakan laptop untuk menuliskan apa yang ingin ana sampaikan terkait pertanyaan itu, sambil menunggu Loading…melihat laptop yang senantiasa setia menemani ana selama ini,jadi teringat memori 3 tahun silam saat-saat dimana mulai berjuang bersama-sama para Aktivis Da’wah di Kampus dulu… ah betapa Rindunya dengan masa-masa itu…, dimanapun kalian berada wahai sahabat, ana do’akan semoga kita senantiasa Istiqamah dalam kebaikan Aamiin…

“Ok..laptopnya dah Stand by neh…Lanjut yuk..!”

Nah..Ikhwatifillah…ketika ana membaca sekali lagi redaksional pertanyaan itu dengan lebih seksama ana sempat termenung sejenak… tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas dalam pikiran ana, ketika membayangkan tentang Jauh dan Dekat dengan Allah, entah darimana datangnya tiba-tiba dalam pikiran ana muncul sebuah pertanyaan baru “Aina Allah” (Dimanakah Allah)…?

Seketika itu ana beristighfar karena khawatir apa yang terlintas difikaran ana itu bukanlah sesuatu yang baik, teringat Hadits :

Ibnu Abbas radiyallahuanhu meriwayatkan bahwa ada beberapa orang yang berpikir tentang Dzat Allah Subhanahu wa ta’alaa, maka Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

“Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan jangan memikirkan (Dzat) Allah, karena kalian tidak mungkin akan mampu mengetahui hakikatnya.”

Imam Al-Iraqi berkata bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah dengan sanad yang dhaif. Juga diriwayatkan oleh Al-Ashbahani dalam kitab At-Targhib wat Tarhib dengan sanad yang lebih Shahih. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Abu Syaikh.
Apapun riwayatnya, yang jelas maknanya Shahih

Namun begitu, tetap saja rasa penasaran hinggap dihati ana, karena ana yakin tidak mungkin ana sendiri yang pernah terbesit pertanyaan semacam ini dan ana menjadi tertarik bagaimana pandangan orang lain terhadap pertanyaan ini, dan bagiamanapun, rasanya ana ingin tetap ada penjelasan yang menetramkan hati dan pikiran tentang permasalahan ini sehingga tau bagaimana seharusnya berfikir dan bersikap.

Lalu ana pun mulai mencari informasi yang mengkaji tentang pertanyaan ini (“Aina Allah” (Dimanakah Allah)…?)

Nah…benar saja dugaan ana Ikhwatifillah…ternyata terhadap pertanyaan ini pun juga terdapat perbedaan pandangan.
  1. Ada yang berpendapat menafsirkan ayat dan hadits bahwa Allah benar-benar secara Dzat (Hakiki) bukan Majazi (Kiasan), berada di ATAS.
Allah itu adanya di langit dan di atas Arsy. Itulah keterangan yang benar sesuai dengan informasi yang Allah SWT tetapkan sendiri dalam Al-Quran Al-Kariem. Beberapa dalil yang digunakan :

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S Al-Araf : 54)

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” (Q.S Al-Mulk :16-17)

“Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda, Kasihanilah yang bumi maka kamu akan dikasihani oleh Yang DI LANGIT”. (HR. Tirmidzi).


2. Lalu ada juga yang berpendapat : menafsirkan ayat dan hadits tentang keberadaan Allah secara Majazi (Kiasan)

Dalam kitab Iqozhul Himam Syarah Al Hikam dijelaskan: “Dan telah berkata Sayyidina Ali (semoga Allah muliakan wajahnya) Al Haqq (Allah) Ta’ala bukanlah dari sesuatu, dan bukan di dalam sesuatu, dan bukan di atas sesuatu dan bukan di bawah sesuatu, karena jika Allah dari sesuatu sungguh Dia diciptakan, jika Dia di atas sesuatu sungguh Dia bisa dibawa, jika Dia di dalam sesuatu maka sungguh Dia bisa terkurung, dan jika di bawah sesuatu maka Dia bisa dipaksa. Dan dikatakan kepada Sayyidina Ali: Wahai anak pamannya Rosulullah SAW, dimana Tuhan kita berada? Atau apakah dia bertempat? Maka berubahlah muka Sayyidina Ali dan beliau diam sesaat, kemudian beliau berkata : Perkataan kalian dimana Allah adalah pertanyaan tentang tempat, dan Allah itu ada, dan tempat belum ada, kemudian Allah ciptakan waktu dan tempat, dan Dia sekarang sebagaimana Dia ada, tanpa tempat dan tanpa waktu”
Allah tidaklah berada di langit sebagaimana awalnya Allah ada seperti hadits berikut ini :
“Allah ada dan tidak ada sesuatupun sebelumnya, dan ‘Arsynya Allah ada di atas air, dan Allah menulis di lauhul mahfudz segala sesuatu, kemudian Allah ciptakan langit dan bumi”. (HR. Imam Bukhori)
Hadits lainnya :
“Sesungguhnya Allah telah menentukan takdir para makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, dan ‘Arsynya ada di atas air” (HR. Imam Muslim)
Dimana Allah ketika langit belum tercipta, dimana Allah ketika itu 50.000 tahun lamanya?
Adapun ayat-ayat yang secara harfiyah menunjukkan Allah ada di atas, di langit, di mana-mana, tidak boleh kita artikan secara harfiyah atau lahiriyah saja karena bisa berakibat Syirik. Karena menyatakan Allah sama dengan makhluk, yang membutuhkan tempat dan waktu. Itu semua mempunyai arti kiasan, contoh : Allah ada di atas, di langit itu berarti Allah Maha Tinggi, bukan berati dzat Allah ada di atas, ada di langit, boleh ditunjuk ke atas.
Allah tidak di atas, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di bawah, tidak di samping, tidak dimana-mana. Tidak boleh menunjuk Allah di atas, seperti banyak disebutkan orang, “Serahkan saja sama yang di atas”. Ini bisa Syirik jika diartikan dzat Allah ada di atas atau di langit. Allah berfirman, “Laysa Kami-Tslihii Syay-Uw Wahuwas Sami’ul Bashir”, “Tidak ada yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar Maha Melihat”,
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Menyimak dua pendapat di atas ana malah jadi semakin bingung Ikhwatifillah…malah muncul lagi pertanyaan baru di benak ana, “Sebenarnya bagaimana seh..batasan dalam menafsirkan atau menta’wilkan Ayat-ayat dan Hadits?”
Selama kira-kira dua minggu pikiran ana tersita oleh permasalahan ini, mencoba berdiskusi dengan beberapa orang sahabat namun belum juga cukup menetramkan hati dan pikiran ini, sampai pada suatu waktu sekitar ba’da Isya ana melanjutkan membaca buku Majmuatur Rasail (Kumpulan Risalah) Karya Imam Syahid Hasan Al Banna, saat itu sampai pada Bab Risalatul ‘Aqaaid (Risalah Aqidah), Subhanallah, Walhamdulillah Wallahuakbar….ana merasakan Allah memberikan petunjuk kepada hamba-Nya yang sedang kebingungan, pas sekali momentumnya disaat ana membutuhkan penjelasan …di kumpulan Risalahnya ternayata Imam Syahid juga memberikan perhatiannya terhadap masalah ini , tidak dibahas secara panjang lebar namun ana merasa penjelasan beliau bijak dan menetramkan.

tidak sebatas pada pertanyaan ini saja Ikhwatifillah, lebih umum beliau menjelaskan ternayata para ulamapun berselisih terhadap penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat.

Berikut ana kutip sedikit pemaparan Imam Syahid terkait masalah ini :

Di dalam Al-Qur’an dan Sunnah ada Sejumlah ayat dan Hadits yang lahirnya seolah menggambarkan keserupaan Allah dengan sebagian sifat makhluk-Nya. Kami akan menyebutkan sebagiannya untuk contoh, kemudian kami menyertakan beberapa komentar tentangnya. Kita memohom taufik kepada Allah, agar dapat menjelaskan yang benar mengenai masalah ini, di mana telah sekian lama diperdebatkan manusia hingga masa ini. Juga agar Dia menjauhkan kita dari kekeliruan serta memberikan ilham kebenaran kepada kita. Dia-lah Dzat yang mencukupi kita dan Dia-lah sebaik-baik pelindung.

Beberapa Contoh Ayat Sifat

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa Dan tetap kekal Wajah­11 Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (Q.S Ar-Rahman : 26-27)

Demikian juga makna setiap ayat yang menyebut kata “Wajah” yang disandarkan kepada Allah

“Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain. yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan Yaitu: 'Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya'. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah Mata12 (pengawasan)-Ku” (Q.S Thaha : 37-39)

Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan Dan buatlah bahtera itu dengan mata-mata13(pengawasan) dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang lalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (Q.S Hud :36-37)

Demikian juga pengertian setiap ayat yang menyebut kata “Mata” yang disandarkan kepada Allah.

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan14 Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S Al-Fath :10)

“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan 15Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka16; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. ….” (Q.S Al-Maidah : 64)

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan17 Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?” (Q.S Yasin : 71)

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri18 (siksa)- Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”. (Q.S Ali – Imran : 28)

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?" Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri19 Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib".(Q.S Al- Maidah : 116)

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy20.” (Q.S Thaha : 5)
Demikian juga makna ayat-ayat yang semisal yang menisbatkan kata “bersemayam” kepada Allah.

“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas21 semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya” (Q.S Al-An’am :61)

“atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit22 bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” (Q.S Al-Mulk : 16)

“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik23 perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Q.S Fathir : 10)

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti24 Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S Al-Ahzab : 57)

“dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh25 (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.” (Q.S At-Tahrim : 12)

“Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah26 Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (Q.S Al- Fajr : 21-22)

Beberapa Contoh Hadits Sifat

Dalam beberapa Hadits yang mulia juga disebutkan beberapa kata yang senada dengan kata yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas, yang dinisbatkan kepada Allah, seperti wajah, tangan, dan semisalnya. Maka kami merasa cukup dengan mengutipnya dalam ayat, hingga tidak perlu disebutkan lagi. Namun ada beberapa lafal sejenis lainnya yang dinisbatkan kepada Allah, kami menyebutkannya sebagian yaitu :

Abu Hurairah Radiyallahuanhu meriwayatkan bahwa Nabi Salallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “ Allah menciptakan Adam dengan bentuknya27, tingginya enam puluh hasta. Ketika selesai menciptakannya, Dia berkata, “Pergi dan berikan salam kepada mereka itu (Sekelompok malaikat yang tengah duduk-duduk) dan dengarlah salam yang akan mereka ucapkan kepadamu. Sebab ia adalah salam untukmu dan untuk anak turunmu.” Adam pun berkata, “ Assalamu’alaikum” Malaikat menjawab, “Assalaamu’alaika salam warahmatullah” Mereka menambahkan “Warahmatullah”. Setiap orang yang masuk surge berbentuk seperti Adam. Setelah itu, penciptaan selalu berkurang, hingga sekarang.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Anas bin Malik Radiyallahuanhu meriwayatkan bahwa Nabi Salallahu ‘alaihi wa salam bersabda. “Neraka Jahanam senantiasa dilempari penghuni, lalu ia berkata, “Apakah ada tambahan lagi?” Hingga Allah –Rabbul Izzati meletakkan telapak kaki28-Nya. Maka mengkerutlah Jahanam itu dan berkata, “Cukup, cukup, demi kehormatan dan kemuliaan Mu.” Dan di Surga senantiasa ada kelebihan, hingga Allah menciptakan suatu makhluk untuk menempati kelebihan di Surga.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah Radiyallahuanhu meriwayatkan Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Allah lebih Gembira29 dengan Taubat salah seorang dari kalian daripada (kegembiraan) seseorang dengan barangnya yang hilang, saat menemukannya kembali (H.R Bukhari dan Muslim)
-------------------------------------------------------------------------------------------------
11)Maksudnya adalah Dzat-Nya. Zamakhsyari berkata, kata “Wajah” itu digunakan untuk menyebut keseluruhan tubuh dan dzat. Orang-orang miskin Makkah berkata, “manakah wajah Arab yang dermawan, yang akan mengentaskan aku dari kehinaan?”
12)Maksudnya, ia terdidik di bawah pemeliharaan dan penjagaan-Ku
13)Maksudnya dengan pengawasan-Ku dan ketika Kami melihatmu. Rabi’bin Anas berkata, “Dengan penjagaan Kami terhadapmu, yaitu penjagaan Dzat yang Maha Melihat mu. “Ibnu Abbas Radiyallahuanhu berkata, “Dengan penjagaan Kami.”
14)Maksudnya di atas tangan-tangan yang mereka gunakan untuk berbai’at pada nabi, artinyabahwa Allah mengawasi bai’at mereka, lalu memberi balasan mereka atas bai’at tersebut.
15)Tangan Allah terbelenggu, hingga tidak mengucurkan rezeki pada kita. Kaum Yahudi menyebut kata ini sebagai kiasan bahwa Allah itu bakhil (Mahasuci Allah dari tuduhan keji mereka,pent.)
16)Sungguh-sungguh dalam menyatakan sifat dermawan. Allah dipuji dengan menyebut tangan untuk menyatakan pemberian-Nya yang teramat banyak. Sebab puncak kedermawanan adalah seseorang dermawan yang memberikan dengan tangannya sendiri.
17)Maksudnya Kami mencipta dan mengerjakannya sendirian, tanpa sekuu dan penolong.
18)Artinya Allah memerintahkan untuk takut kepada-Nya
19)Maksudnya, Engkau mengetahui apa rahasiaku dan apa yang tersembunyi dalam batinku yang telah engkau ciptakan, sedang aku tidak mengetahui sesuatu pun yang Engkau khususkan untuk diri-Mu, tentang hal-hal ghaib dan Ilmu-Mu.
20)’Arsy itu singasana raja. Tentang bersemayam, Abu Hasan Al-Asy’ari dan yang lain berkata, “Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, tanpa batasan dan tata cara sebagaimana bersemayamnya makhluk. “Abdullah bin Abbas radiyallahuanhu, berkata, maksudnya, Allah menciptakan apa yang telah ada dan terus ada hingga hari kiamat, serta setelah kiamat.”
21)Makna “Di atas Hamba-Nya” adalah kekuasaan dan kemenangan, yakni mereka di bawah pengendalian-Nya, bukan “di atas” dalm konteks tempat. Sebagaimana anda mengatakan, “Raja ada di atas rakyatnya,” yakni memiliki kedudukan dan kemuliaan di atas mereka.
22)”Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit”, maksudnya adalah Dzat yang kekuasaan-Nya di langit. Qurthubi berkata, “disebut kata Langit” secara khusus meskipun kerajaan menyeluruh, untuk mengingat bahwa Tuhan adalah yang kekuasaan-Nya terlaksana di langit, bukan yang mereka agungkan di bumi.”
23)Maksudnya, diketahui oleh Allah. “dinaikkan-Nya” artinya diterima oleh-Nya “perkataan-perkataan yang baik” adalah kalimat tauhid yang berasal dari aqidah yang benar.
24)Maksudnya, orang-orang kafir yang menyifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak dinisbatkan kepada-Nya;misalnya mempunyai anak dan sekutu. Dan mereka juga mendustakan rasul-Nya.
25)Yakni, Aku mengutus Jibril untuk meniupkan salah satu ruh yang Kami ciptakan, yaitu ruh Isa ‘Alaihi salam.
26)Maksudnya, datanglah perintah dan keputusan-Nya.
27)Yakni dengan bentuk Adam ‘alaihisalam . Hafidz Al-Asqalani berkata, “Maknanya, bahwa Allah menciptakannya pertama kali sudah dalam bentuknya yang sempurna, tanpa melalui tahapan pertumbuhan dan tidak mengalami perjalanan di dalam rahim, sebagaimana anak cucunya. Allah menciptakannya dalam bentuk laki-laki sempurna,semenjak ruh ditiupkan kepadanya.”
28)Az-Zamakhsyari berkata, “meletakkan telapak kaki pada sesuatu, merupakan kiasan untuk mencegah dan menekan. Seolah-olah beliau Salallah ‘alaihi wasalam bersabda : “Maka datanglah perintah Allah kepada Neraka untuk mencegahnya dari meminta tambahan, maka ia pun tercegah.”
29)An-Nawawi meriweayatkan bahwa Al-Mazari berkata, “Kegembiraan itu terbagi dalam beberapa makna, antara lain kesenangan. Dan, kesenangan itu mirip dengan keridhaan terhadap yang membuat senang. Maka yang dimaksud di sini bahwa Allah ridha terhadaptaubat hamba-Nya melebihi keridhaan orang yang menemukan kembali hartanya yang hlang. Hadits itu menyebut keridhaan dengan kata “gembira” untuk menegaskan makna ridha di telinga pendengarnya, juga untuk menunjukkan makna superlatifnya.”
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam Memahami Masalah ini, Lahirlah Empat Kelompok

1. Satu kelompok mengambil zahir teks sebagaimana adanya. Mereka menyatakan Allah mempunyai wajah seperti wajah makhluk, tangan atau beberapa tangan seperti tangan mereka, tawa seperti tawa mereka, dan begitu seterusnya, sampai-sampai mereka mengasumsikan Tuhan sebagai orangtua dan sebagian yang lain mengasumsikan-Nya sebagai seorang pemuda. Mereka adalah kelompok yang memvisualkan dan menyerupakan Allah Subhanahu wa ta’alaa dengan makhluk. Sungguh, mereka tidak mewakili Islam sedikitpun dan ucapan mereka tidak memiliki bagian kebenaran sedikitpun. Untuk menolak mereka, cukuplah dengan firman Allah :

(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S Asy-Syura : 11)

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia". (Q.S Al-Ikhlas : 1-4)

2. Kelompok kedua mengabaikan makna-makna yang terkandung dalam lafal-lafal di atas dalam segala bentuknya. Mereka bermaksud menghapus secara total kandungan maknanya dari Allah. Maka Allah menurut mereka adalah Dzat yang tidak berbicara, tidak mendengar, dan tidak melihat. Sebab Sifat-sifat itu tidak mungkin ada keculai dengan anggota badan. Sedangkan anggota badan harus dinafikan dari Allah . Dengan begitu, sebenarnya mereka mengingkari sifat-sifat Allah, tetapi menampakkan diri seolah me-Maha sucikan-Nya. Mereka adalah kelompok yang mengingkari sifat Allah. Sebagian pakar sejarah aqidah Islam menyebutnya sebagai kelompok Jahmiyah.

Saya tidak yakin bahwa seseorang yang memiliki sepenggal akal bisa membenarkan kata-kata yang rancu ini. Lihatlah, telah nyata bahwa ucapan, pendengaran, dan penglihatan pada sebagian makhluk terjadi tanpa adanya anggota badan? Maka bagaimana mungkin kalam Dzat yang Maha benar tergantung kepada anggota badan? Maha Suci, Maha tinggi, Maha besar Allah dari semua penyifatan itu.

Dua kelompok ini batil dan tidak ;layak diperhatikan. Dan, dihadapan kita tinggal dua pendapat yang menjadi obyek pengkajian para ulama aqidah. Yaitu pendapat Ulama Salaf dan Ulama Khalaf.


MADZHAB ULAMA SALAF TENTANG AYAT DAN HADITS SIFAT

3. Ulama salaf -semoga Allah meridhai mereka- berkata, “Kita mengimani ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut sebagaimana adanya dan menyerahkan penjelasan tentang maksudnya kepada Allah Subhanahu wa ta’alaa . Mereka menetapkan adanya tangan, mata, beberapa mata, bersemayam, tertawa, takjub, dan sebagainya. Namun hakikat maknanya tidak kita pahami. Karena itu kita serahkan penguasaan pengetahuan tentangnya kepada Allah. Lagipula Rasulullah telah melarang kita dari hal itu dalam sabdanya, “Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan jangan memikirkan (Dzat) Allah, karena kalian tidak mungkin akan mampu mengetahui hakikatnya.”

Imam Al-Iraqi berkata bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah dengan sanad yang dhaif. Juga diriwayatkan oleh Al-Ashbahani dalam kitab At-Targhib wat Tarhib dengan sanad yang lebih Shahih. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Abu Syaikh.

Mereka semua (Ulama Salaf) – semoga Allah meridhai mereka- memastikan tidak ada keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Kami suguhkan kepada anda ungkapan mereka dalam hal tersebut :

a. Abdul Qasim Al-Lalikai meriwayatkan dalam Ushulus Sunnah dari Muhammad bin Al Hasan, sahabat Abu Hanifah –semoga Allah meridhai mereka-bahwa ia berkata, “Seluruh ahli fiqih dari timur hingga barat sepakat mengimanai Al-Qur’an dan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang terpercaya dari Rasulullah, tentang sifat Allah Azza wa Jalla, tanpa penafsiran, visualisasi, dan tanpa penyerupaan. Barangsiapa yang saat ini menafsirkan sebagian sifat Allah, maka sungguh ia telah keluar dari ajaran nabi dan telah memisahkan diri dari Jamaah. Sebab Jamaah (Rasul dan Sahabat) tidak memvisualisasikan dan tidak menafsirkan. Mereka hanya memfatwakan dengan apa yang ada dalam kitab dan sunah, kemudian diam.”

b. Al-Khallal menyebutkan dalam As-Sunnah dari Hanbal, Dan Hanbal menyatakan dalam beberapa bukunya, seperti As-Sunnah wal Mihnah, “Saya (Hanbal) bertanya kepada Abu Abdillah tentang hadits-hadits yang meriwayatkan bahwa Allah turun ke langit dunia, Allah melihat, Allah meletakkan telapak kaki-Nya, dan hadits-hadits yang serupa?” Maka Abu Abdillah menjawab, “Kita mengimaninya dan membenarkannya; tanpa bertanya bagaimana, apa maknanya, dan tanpa menolak sesuatupun darinya. Kita tahu bahwa apa yang di bawa rasulullah itu benar, jika sanad nya shahih kita tidak menolak firman Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah tidak disifati dengan sesuatu melebihi apa yang Dia sifatkan untuk diri-Nya, tanpa batas dan tanpa ujung. Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya.

c. Harmalah bin Yahya berkata, saya mendengar Abdullah bin Wahb berkata, saya mendengar Malik bin Anas berkata, “Barangsiapa memvisualisasi-kan salah satu sifat Dzat Allah, seperti firmannya, “Berkatalah orang-orang Yahudi “Tangan Allah terbelenggu,” dengan mengarahkan tangan ke lehernya, dan seperti firman-Nya, “Dan Dia Maha mendengar dan maha Melihat,” dengan menunjuk ke telinga, mata atau sebagian dari kedua tangannya, maka ia telah menghilangkan sifat itu dari-Nya, karena ia menyamakan Allah dengan dirinya.” Kemudian Malik Berkata,”Tidakkah kau mendengar ucapan Al-Barra’ketika bercerita bahwa Nabi tidak berkurban dengan empat kurban;dengan isyarat tangannya sebagaimana Nabi salallahu’alaihi wa salam berisyarat.” Kemudian Al-Barra berkata,”Tanganku lebih pendek daripada tangan Rasulullah.” Jika Al-Barra’tidak suka memvisualisasikan tangan Rasulullah sebagai penghormatan terhadapnya, padahal beliau adalah makhluk. Maka bagaimana dengan Al-Khaliq yang tiada sesuatupun yang menyeruapi-Nya.

d. Abu Bakr Al-Atsram, Abu Amr Ath-Thulmanki, dan Abu Abdullah bin Abu Salamah Al-Majisyun meriwayatkan ungkapan panjang mengenai hal ini yang diakhiri dengan kalimat, “Apapun yang Allah sifatkan untuk-Nya dan yang dianamai melalui lisan Rasul-Nya, maka kita menamainya, sebagaimana Ia menamai diri-Nya. Kita tidak memaksakan suatu sifat selain yang telah ditetapkan; tidak ini tidak juga itu. Kita tidak mengingkari sifat yang ditetapkan-Nya dan tidak memaksakan diri untuk mengetahui sifat yang tidak diberitakan oleh-Nya.

Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa keterlindungan dalam agama adalah berhenti pada pemberhentian yang ditetapkan agama dan tidak melampaui batas yang telah ditetapkan untukmu. Sebab pilar agama adalah mengenal yang ma’ruf dan mengingkari yang munkar. Karena itu, sesuatu yang telah dijelaskan dengan luas oleh pengetahuan, nurani menerimanya dengan puas, induknya ada dalam Kitab serta Sunnah, dan ilmunya telah diwarisi secara bergenerasi oleh umat, maka jangan takut menyebutnya dan menyifati Tuhanmu dengan sifat yang telah ditetapkan oleh-Nya. Sebaliknya, sifat yang berasal dari perkiraan, jiwamu mengingkarinya, dan anda tidak menjumpainya dalam kitab Tuhanmu serta hadits Nabimu, maka jangan memaksakan diri untuk mengetahuinya dengan akalmu, jangan menyatakannya dengan lisanmu, dan diamlah sebagaimana Tuhanmu tidak menyatakannya untuk dirinya. Sebab memaksakan diri mengetahui sifat yang tidak ditetapkan-Nya untuk diri-Nya sama dengan mengingkari sifat yang telah ditetapkan-Nya.

Jika engkau menganggap salah besar orang-orang yang mengingkari sifat Allah, maka anggap juga salah besar orang-orang yang memaksakan diri menyifati Allah dengan sifat yang tidak ditetapkan-Nya. Demi Allah, terhormatlah kaum muslimin yang mengenal kebaikan, sehingga dengan pengenalan mereka itu kebaikan dikenal dan yang menginghkari kemunkaran, sehingga dengan pengingkaran mereka kemungkaran itu diingkari. Juga yang mendengar sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an dan sifat sejenisnya yang sampai kepada mereka dari Nabi-Nya. Karena itu tidak akan sakit hati kaum muslim yang menyebut dan menamai Allah dengan nama tersebut. Dan Mukmin tidak akan memaksakan diri menyifati kekuasaan-Nya serta menamai Allah dengan nama lain.

Sifat yang dinyatakan Rasulullah sebagai sifat Tuhannya, itu setingkat dengan sifat yang ditetapkan Allah tentang diri-Nya. Orang-orang yang mendalam ilmunya adalah yang membatasi diri sesuai batas keilmuannya, menyifati Tuhan mereka sesuai dengan sifat yang telah ditetapkan-Nya untuk diri-Nya, meninggalkan apa-apa yang tidak disebutkan-Nya, tidak mengingkari sifat yang telah ditetapkan-Nya, dan tidak memaksakan diri untuk menyifati-Nya dengan sifat yang tidak ditetapkan-Nya. Sebab kebenaran itu terletak pada sikap meninggalkan apa yang ditinggalkan Allah dan menamai Allah dengan nama yang telah ditetapkan-Nya.

“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S An-Nisa :115)

Semoga Allah menganugerahi kita kearifan dan mempertemukan kita dengan orang-orang yang shalih.


MADZHAB ULAMA KHALAF DALAM MEMAHAMI AYAT DAN HADITS SIFAT

Telah saya jelaskan di muka bahwa para ulama salaf-semoga Allah meridhai mereka-beriman kepada ayat-ayat dan hadits-hadits sifat sebagaimana adanya dan menyerahkan penjelasan maksudnya kepada Allah, dengan keyakinan untuk menyucikan Allah dari penyamaan dengan makhluk-Nya.

Adapun ulama Khalaf, mereka berkata, “Kami menetapkan bahwa makna-makna kata dalam ayat-ayat dan hadits-hadits ini tidak dikehendaki lahirnya (zahirnya). Dengan demikian, ia merupakan kiasan yang boleh dita’wil. Maka mereka menta’wil “wajah” dengan Dzat, “tangan” dengan kekuasaan, dan semisalnya, dengan tujuan menghindari Syubhat penyerupaan. Berikut adalah contoh-contoh ungkapan mereka :

a. Abu Fajr bin Al-Jauzi Al Hanbali menyatakan dalam bukunya Daf’u Syu’batit Tasybih, Allah berfirman : Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”(Q.S Ar-Rahman : 27) Para Ahli tafsir mengatakan, “Tetaplah Tuhanmu.” Mereka juga berkata tentang firman Allah. “mereka menginginkan wajah-Nya.” (Q.S Al-An’am : 52) artinya “menginginkan-Nya.” Adh Dhahhak dan Abu Ubaidah berkata mengenai ayat, “Segala sesuatu itu hancur kecuali wajah-Nya” (Q.S Al-Qashash : 85) artinya ,”kecuali Dia.”

Ia juga menulis pasal tambahan dalam buku tersebut untuk membantah orang yang mengatakan bahwa berpegang pada makna tekstual ayat dan hadits tersebut adalah madzhab ulama salaf. Ringkasan dari apa yang dikatakan adalah, “pengambilan makna ayat secara tekstual adalah pemvisualisasian dan penyerupaan.” Sebab secara tekstual, lafal itu diartikan apa adanya. Maka tiada makna hakiki untuk kata “tangan” kecuali anggota tubuh, demikian seterusnya.

Adapun Ulama Salaf, mereka sebenarnya tidak mengambil makna ayat secara tekstual, namun diam tanpa membahasnya. Ia juga berpendapat bahwa penamaan ayat-ayat dan hadits-hadits sifat adalah penamaan bid’ah, tidak ada dalam kitab dan Sunah. Karena itu penamaan ini bukan hakiki, namun hanya untuk penyandaran semata. Ia berargumen untuk mendukung ucapannya dengan argumen yang amat banyak, namun tidak mungkin dipaparkan di sini.

b. Fakhruddin Ar-Razi mengatakan dalam bukunya Asasut Taqdis, “Ketahuilah bahwa teks-teks Al-Qur’an tidak mungkin dipahami secara tekstual karena beberapa hal :

Pertama, secara lahir firman Allah : “…dan supaya kamu diasuh di mata (di bawah pengawasan) -Ku. (Q.S Thaha : 39) mengandung makna bahwa Musa berada dan menempel di mata Allah itu dan bahkan berada di atas-Nya. Tentu saja pengertian ini tidak mungkin dilontarkan oleh seorang pun yang berakal.

Kedua, Firman-Nya, “Dan buatlah bahtera itu dengan mata-mata (pengawasan) dan petunjuk Kami…,” (Q.S Hud : 3) mengandung pengertian bahwa alat untuk menciptakan bahtera itu adalah mata itu sendiri.

Ketiga, penetapan kata “mata-mata”(banyak mata) untuk satu wajah adalah buruk sekali. Oleh karenanya harus dita’wil, yakni mengartikan lafal-lafal tersebut dengan makna “pemeliharaan dan pengawasan yang kuat.”

c. Imam Ghazali menyatakan di dalam bukunya Ihya ‘Ulumuddin, Jilid pertama, ketika sedang membicarakan penisbatan ilmu zhahir ke dalam ilmu bathin dan pembagian apa-apa yang diakibatkan olehnya, juga tentang ta’wil dan bukan ta’wil.
Bagian ketiga adalah sesuatu yang jika disebut secara jelas dapat dipahami dan tidak ada bahayanya, tetapi diungkap dengan kata kiasan, agar kesan yang ditimbulkan dalam hati pendengar lebih kuat. Misalnya sabda Rasulullah : “Sesungguhnya Masjid itu mengkerut karena Dahak, sebagimana mengkerutnya kulit karena api.30)“ Artinya, jiwa masjid dan keagungannya terhinakan dengan pembuangan dahak, Maka pembuangan dahak mempengaruhi nilai masjid, sebagaimana pengaruh api yang mengenai kulit. Sementara anda melihat bahwa lantai mesjid tidak mengkerut karena dahak.

30)Az-Zabidi menyatakan dalam syarah Ihya’ bahwa Al-Iraqi berkata, “Saya tidak menjumpai adanya hubungan hadits ini dengan rasulullah. Ia hanya kata-kata Abu Hurairah dan riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam bukunya.” Saya (Az-Zabidi) berkata,”Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq dengan sanad yang hanya sampai pada Abu Hurairah Radiyallahuanhu. Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah juga diriwayatkan bahwa Rasulullah melihat Dahak di masjid di arah kiblat, lalu beliau bersabda, “Mengapa seseorang dari kalian menghadap Tuhannya, lalu berdahak di hadapan-Nya? Apakah dia mau didahaki mukanya ketika sedang bertatap muka?”

Juga seperti sabda Rasulullah, “Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, bahwa Allah akan mengubah kepalanya dengan kepala keledai” (H.R Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Tentu, dari dimensi bentuk ia tidaklah berubah sama sekali, namun dari dimensi makna bisa saja terjadi. Karena kepala keledai di sini tidaklah yang sebenarnya, tetapi yang dimaksud adalah karakternya ; yakni pander dan bodoh. Jadi, barangsiapa mengangkat kepalanya sebelum Imam, kepalanya seperti kepala keledai dalam pengertian karakter bodoh dan pandirnya. Inilah yang dimaksud, bukan bentuknya.

Rahasia yang menyalahi lahirnya ini dapat diketahui dengan dalil logika dan syari’ah. Secara logika, adanya kemustahilan mengartikan lafal secara lahir, sebagaiman sabda Rasulullah : “hati seorang Mukmin itu ada diantara dua jari-jari Ar-Rahman.” (H.R Muslim dari Abdullah bin Umar). Sebab jika kita periksa hati seorang mukmin, tentu tidak mendapati jari. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa jari merupakan kiasan dai kekuasaan yang menjadi rahasia dan ruh jari yang tersembunyi. Dikiaskannya kekuasaan dengan jari karena pengaruh lebih mendalam yang memahamkan kekuasaan yang sempurna.

Mungkin kami akan memaparkan pembahasan seperti ini di tempat lain. Namun apa yang saya sebutkan ini agaknya telah cukup.

Sampai di sini jelaslah dihadapnmu metode Salaf dan Khalaf. Dimana dua metode ini menjadi pemicu perselisihan sengit di antara ulama ilmu kalam dari kalangan pemimpin umat Islam. Masing-masing kelompok memperkuat Madzhabnya dengan berbagai argument dan dalil. Padahal, jika engkau mengkajinya, maka akan mengetahui bahwa jarak perbedaan antara dua metode ini tidak ada artinya, jika masing-masing pihak meninggalkan sikap ekstrim dan berlebih-lebihan. Pembahasan bidang ini, kalaupun diperbincangkan dengan panjang lebar, tidak pernah sampai kecuali pada satu kesimpulan, yaitu penyerahan kepada Allah Subhanahu wa ta’alaa. Inilah yang akan kami terangkan Insya Allah.


ANTARA SALAF DAN KHALAF

Engkau telah mengetahui bahwa Madzhab Salaf mengenai ayat-ayat dan hadits-hadits yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah adalah mengikuti apa adanya, tanpa menafsirkan dan menta’wilkan. Sedangkan madzhab ulama Khalaf adalah ment’wilnya dengan makna yang sesuai dengan kesucian Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Namun engkau tahu bahwa perselisihan antara kedua kelompok ini sangat meruncing, hingga menyebabkan saling melontarkan berbagai julukan fanatisme buta. Penjelasan menganai hal ini dapat dilihat dalam beberapa aspek :

Pertama, kedua kelompok sepakat dalam hal menyucikan allah dari penyerupaan dengan makhluk-Nya.

Kedua, masing-masing menegaskan bahwa yang dimaksud lafal dalam teks yang membicarakan Allah bukanlah apa yang tersurat di lahirnya, sebagaimana jika dinisbatkan kepada makhluk. Hal ini merupakan konsekuensi kesepakatan mereka dalam menafikan penyerupaan.

Ketiga, masing-masing kelompok mengetahui bahwa lafal itu diletakkan untuk mengungkapkan sesuatu yang ada dalam jiwa, atau yang tertangkap oleh indera yang berhubungan dengan ahli bahasa atau pembuat bahasa. Dan, bahasa-betapapun luasnya- tidak dapat menjangkau sesuatu yang yang tidak bisa dipahami hakikatnya oleh pemilik bahasa. Sementara hakikat lafal yang berhubungan dengan Dzat Allah termasuk dalam pengertian ini. Bahasa tidak akan mampu mengahdirkan pada kita suatu lafal yang menggambarkan hakikat-hakikat tersebut. Karena itu memaksakan diri untuk menetapkan makna pada lafal-lafal di atas adlah penipuan.

Jika hal ini telah jelas, maka Salaf dan Khalaf telah sepakat mengenai prinsip Ta’wil. Perbedaan di antara keduanya hanya bahwa Khalaf menambahkan pembatasan makna yang dikandung, karena keharusan me-Mahasucikan Allah dan karena menjaga aqidah orang awam dari Syubhat penyerupaan. Perbedaan semacam ini sebenarnya tidak sampai melahirkan guncangan.


Mendukung Madzhab Salaf

Kami berkeyakinan bahwa pendapat salaf, yakni diam dan menyerahkan ilmu mengenai berbagai makna kepada Allah, adalah selamat. Dan lebih layak diikuti, untuk mencegah Ta’wil dan pengingkaran.

Apabila anda termasuk orang yang dibahagiakan Allah dengan ketenangan iman dan disejukkan dadanya dengan embun keyakinan, maka jangan mengganti pendapat ini dengan pendapat yang lain. Di samping itu, kita berkeyakinan bahwa ta’wil-ta’wil kaum khalaf tidak mengharuskan jatuhnya vonis kekafiran dan kefasikan atas mereka. Juga tidak pula menjadikan munculnya pertikaian berlarut-larut antara mereka dan selainnya, dahulu maupun sekarang. Sungguh dada Islam lebih lapang daripada ini semua.

Orang yang paling kuat memegang pendapat Salaf yakni Imam Ahmad bin Hanbal juga menggunakan Ta’wil dalam beberapa hal. Antara lain ta’wil hadits,

“Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di muka bumi (Al Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Hakim dari Abdullah bin Umar, Hakim menyatakan Hadits ini Shahih).

Dan Sabda beliau salallahu ‘alaihi wa salam , “Hati seorang mukmin itu ada di dua jari-jari Ar-Rahman.” (H.R Muslim dari Abdullah bin Umar)

Juga sabda beliau, “Sesungguhnya saya mendapatkan Dzat Rahman dari arah Yaman.” (Al Iraqi berkata, Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah)

Saya melihat pendapat Imam Nawawi – semoga Allah meridhainya- dapat mendekatkan jarak perbedaan antara dua pendapat, sehingga tidak ada peluang lagi untuk bertikai dan berdebat. Apalagi kaum khalaf telah membatasi diri dengan membolehkan ta’wil dari berdasar logika dan Syari’at, selama tidak bertabrakan dengan salah satu prinsip agama.

Ar-Razi menyatakan dalam bukunya Asasut Taqdis, “Kemudian jika kami membolehkan Ta’wil, niscaya kita akan disibukkan untuk membuat ta’wil-ta’wil tersebut secara detail. Jika kita tidak membolehkannya, kita serahkan ilmu tentangnya kepada Allah. Inilah aturan global yang dapat dijadikan sandaran dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat. Dan hanya Allah yang member bimbingan.”

Ringkasnya, ulama salaf dan khalaf telah sepakat bahwa kandungan maksud itu bukan lahirnya lafal yang dikenal diantara makhluk. Dan inilah ta’wil secara global. Mereka juga sepakat bahwa semua ta’wil yang bertabrakan dengan prinsip Syari’ah tidak diperbolehkan. Karena itu perbedaan hanya terbatas pada penta’wilan beberapa Lafal dengan makna yang dibenarkan oelh syari’ah. Dan perbedaan ini sangat ringan, sebagaimana anda lihat, juga hal yang sebagian salaf sendiri sering menggunaknnya.

Persoalan penting yang harus menjadi pusat perhatian Kaum muslimin sekarang adalah penyatuan barisan dan pemaduan kata sedapat yang bisa kita lakukan.
Cukuplah Allah bagi Kami, dan Ia adalah sebaik-baik pelindung.

(Majmu’atur Rasa’il - Risalatul ‘Aqaaid – Hasan Al Banna)

“Nah..gimana...Ikhwatifillah..,Sudah lebih tenang kan sekarang dengan penjelasan dari Imam Syahid tersebut…?”


“Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat” (Segala puji bagi Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan menjadi sempurna.)


“Eh..tunggu dulu..rasanya ada yang kurang ya…^_^…?”


“Oiye..pertanyaan dari temen ana nya belum dijawab ^_^, huft…~_~”


afwan..afwan gara-gara sekelebat lintasan pikiran ana harus jadi panjang begini pemaparannya…habisnya ana pikir hal ini penting untuk disampaikan, karena hal ini terkait masalah aqidah, tapi walaupun begitu harapannya setelah hal ini jelas bagi kita, yuk…jangan hanya puas dengan ini saja…seperti yang Imam syahid sampaikan fokus kita tidak hanya untuk membahas apalagi terus berdebat sebatas hal-hal seperti ini saja masih banyak amal nyata yang harus kita kerjakan untuk meretas jalan kebangkitan umat Islam…so Lets do “TARBIYAH” ^_^


Ok..Mudah-mudahan masih pada semangat bacanya… he..^_^, kita tarik Nafas panjang dulu deh biar fokus lagi…