Selasa, 07 Mei 2013

Kutipan Karakteristik ke 16 & 28 Periode kedua (Sirah Nabawiyah) : Jahriyatu ad-Da’wah wa Sirriyatu At-tanzhim



KARAKTERISTIK KE-ENAM BELAS
Memanfaatkan Undang-Undang Masyarakat Musyrik (Undang-Undang Perlindungan dan Jaminan Keamanan)


Masyarakat jahiliah sangat menghargai Undang-undang perlindungan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Jika seseorang yang lemah masuk ke dalam jaminan keamanan (jiwa) orang yang kuat maka orang tersebut dapat menikmati perlindungan kebebasan bergerak dan berpikir, sehingga pihak musuh tidak akan dapat mengganggunya sama sekali. Jika ada pihak yang mengganggunya maka ini berarti peperangan antara kedua belah pihak. Oleh sebab itu, orang yang mengumumkan atau memberi perlindungan haruslah orang yang mulia dan terpandang di kaumnya, mampu memberikan perlindungan dan memperhitungkan segala kemungkinan dadakan yang mungkin terjadi. Marilah kita membahas beberapa contoh dari perlindungan ini. Perlindungan pertama dalam masyarakat Mekah ialah perlindungan Abu Thalib kepada Muhammad Shalallahu’alaihi wa salam.

Berkata Ibnu Ishaq, “Paman Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam , Abu Thalib, Melindungi dan membelanya sehingga beliau terus melanjutkan Da’wahnya tanpa mempedulikan gangguan apapun. Ketika Quraisy melihat bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam terus mengecam Tuhan-tuhan mereka, sementara Abu Thalib telah melindunginya sehingga menolak menyerahkannya kepada mereka, berangkatlah beberapa orang menemui Abu Thalib. Mereka berkata,

“Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu telah mengecam tuhan-tuhan dan agama kita, mencela mimpi-mimpi kita, dan menyatakan nenek Moyang kita sesat. Kami harap engkau dapat mencegahnya atau biarkan kami bertindak terhadapnya.”

Abu Thalib menjawab pernyataan mereka dengan lembut dan baik sampai mereka kembali. Sementara itu Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam terus melakukan da’wahnya sehingga beliau senantiasa menjadi bahan pembicaraan di kalangan Quraisy. Hal ini membuat mereka semakin benci kepada beliau dan berusaha menghentikan da’wahnya.

Maka mereka mendatangi Abu Thalib untuk kedua kalinya. Kata Mereka,

“Wahai Abu Thalib, sesungguhnya engkau adalah orang yang dituakan dan memiliki kedudukan mulia di antara kami. Kami telah meminta agar engkau berkenan mencegah anak saudaramu, tetapi engkau tidak mencegahnya. Demi Allah, kami tidak bisa sabar mendengar cacian terhadap bapak-bapak kam, mimpi-mimpi kami, dan Tuhan-tuhan kami. Sampai engkau mencegahnya atau kami yang menghentikannya hingga salah satu di antara kedua belah pihak hancur binasa.”

Kemudian abu Thalib memanggil Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam dan berkata kepada beliau,

“Wahai anak saudaraku, sesungguhnya kaummu telah datang kepadaku berkata begini dan begitu (seperti perkataan mereka), maka jagalah diriku dan dirimu, dan janganlah engkau memikulkan sesuatu yang aku tidak sanggup memikulnya.”

Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam menyangka bahwa pamannya telah mengambil keputusan untuk menyerahkannya dan tidak sanggup lagi membelanya, maka Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam bersabda kepadanya,

“Wahai Paman, Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan Bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”

Kemudian Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam tampak sedih dan bangkit meninggalkan pamannya. Tetapi, belum jauh Rasulullah berjalan, Abu Thalib memanggilnya,

“Kemarilah wahai anak Saudaraku!”, Setelah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam kembali lagi di hadapannya, abu Thalib berkata, “Pergilah wahai anak saudaraku dan katakanlah apa yang kamu suka, demi Allah aku tidak akan menyerahkan kamu untuk selama-lamanya.”  (Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, I/284 – 285)

Dari perlindungan ini ada tiga hal yang dapat kita catat, yaitu sebagai berikut :

1.      Quraisy berusaha membujuk Abu Thalib agar mau mencegah anak saudaranya dari meyampaikan da’wah kepada agama baru ini. Tetapi, usaha tersebut gagal. Inilah yang kita perkirakan ketika memanfaatkan Undang-undang masyarakat jahiliyah, yaitu usaha membuat undang-undang baru untuk menghalangi kebebasan berda’wah.

2.      Pada usaha yang kedua, Quraisy menggunakan ancaman dan berhasil mempengaruhi nyali Abu Thalib sehingga dia mengajak Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam agar menghentikan da’wah kepada agama ini. Karena, ia tidak mampu lagi melindunginya dalam keadaan demikian. Tetapi, keteguhan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam dalam mempertahankan kebenaran – betapapun resikonya—telah berhasil meneguhkan kembali nyali Abu Thalib untuk memberikan perlindungan kepada Nabi Shalallahu’alaihi wa salam.

Dari sini kita dapat memahami bahwa kegagalan jahilyah pada usaha yang pertama untuk memukul da’wah Islam tidak membuatnya jera. Bahkan, ia pasti akan mengulanginya lagi sampai berhasil menghancurkannya. Namun, kesadaran dan keteguhan gerakan islam sudah cukup untuk menggagalkan usaha-usaha kelompok yang memusuhi islam ini. Dalam pada itu, gerakan islam perlu memanfaatkan semua pertentangan msyarakat jahiliyah untuk dikonfrontasikan antara yang satu dan yang lainnya, sehingga gerakan islam dapat memanfaatkan nya untuk kepentingan da’wah.

3.      Memanfaatkan fanatisme Jahiliyah (Undang-undang jahiliyah) untuk melindungi para pemuda da’wah adalah dibenarkan Syari’at.  Seorang anak dari keluarga besar dan kabilah berpengaruh, yang dapat melobi pemimpin keluarga tersebut untuk melindungi dirinya, tidak berarti bahwa ia telah melepaskan agamanya karena tindakan tersebut. Para da’i yang dapat memanfaatkan seorang Jendral berpengaruh besar dalam militer atau intelejen atau seorang menteri yang disegani dalam negara, tidak berarti mengurangi kemurnian aqidah para da’i tersebut. Bahkan, merupakan hak para pemuda da’wah dalam tahapan yang masih lemah untuk mencari “sandaran” yang kuat dalam masyarakat jahiliyah guna melindungi dirinya serta menjamin kebebasan aqidahnya dan kebebasan berda’wah kepadanya. Perlindungan Abu Thalib kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam telah memberikan berbagai jalan kepadanya dalam menyebarkan da’wah di tengah kota Mekah tanpa mendapatkan gangguan yang berarti. Sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam :

“Quraisy tidak dapat melancarkan suatu tindakan yang tidak aku sukai sampai Abu Thalib meninggal dunia.” ((Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, II/58)

Ini tidak berarti bahwa jahiliyah telah mematuhi perjanjiannya dan menghargai perlindungan Abu Thalib selama sepuluh tahun. Namun, dapat dipastikan bahwa jahiliyah telah gagal dalam berbagai usahanya untuk mencederai perjanjian tersebut. Perlindungan Abu thalib tersebut punya pengaruh besar sehingga dapat menghindarkan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam dari gangguna yang berat.

Selanjutnya, kita berpindah kepada contoh kedua dari perlindungan ini, yaitu perlindungan Ibnu Daghnah kepada Abu Bakar Radiyallahuanhu.

Di dalam riwayat yang shahih, Aisyah Radiyallahuanha berkata, “Saya tidak menginjak usia dewasa kecuali kedua orangtuaku  telah menganut agama (Islam) dan tidaklah berlalu satu hari kecuali Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam datang kepada kami pada kedua ujung siang, pagi dan sore. Dan, ketika kaum muslimin menghadapi cobaan berat, Abu bakar pergi keluar hendak Hijrah ke Habasyah. Ketika tiba di barkul Ghimad ia bertemu dengan ibnu Daghnah, kepala suku Qarah. Ibnnu Daghnah bertanya,

 “Hendak kemana  wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, “kaumku telah mengusirku maka aku ingin pergi di muka bumi dan menyembah Rabbku. Ibnu Daghnah berkata, “Orang seperti kamu wahai Abu bakar tidak pantas keluar dan tidak pantas pula diusir. Sesungguhnya kamu adalah orang yang suka mengusahakan yang tiada, menolong orang yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran. Karena itu, aku berikan perlindungan kepadamu. Kembalilah dan sembahlah Rabbmu di negrimu (sendiri).”

Kemudian Abu bakar kembali bersama Ibnu daghnah. Sesampainya di Mekah, Ibnu Daghnah berkeliling (thawaf) di ka’bah pada waktu Sore di hadapan para pemuka Quraisy. Lalu berkata kepada mereka,

Sesungguhnya orang seperti Abu Bakar tidak pantas keluar dan dikeluarkan. Apakah kalian mengusir seorang yang suka mengusahakan yang tiada, menyambung tali kekeluargaan, membantu orang yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran?”  Para pemuka Quraisy itu tidak menolak perlindungan Ibnu Daghnah bahkan mereka berkata kepada Ibnu Daghnah, “Perintahkanlah Abu bakar untuk menyembah rabbnya di rumahnya, shalat di dalam nya dan membaca apa yang ia suka asalkan tidak menyakiti kita dan tidak secara terang-terangan, karena kami  khawatir para wanita dan anak-anak kita akan terfitnah.”

Kemudian hal itu disampaikan Ibnu Daghnah kepada Abu bakar. Dengan perlindungan itu abu Bakar tinggal (di Mekah) menyembah Rabbnya di rumahnya, kemudian Abu Bakar membangun mesjid di halaman Rumahnya. Di masjid ini Abu Bakar melaksanakan Shalat dan Membaca Al-Qur’, sehingga para wanita dan anak-anak kaum Musyrikin tertarik dan memperhatikannya.

Apabila membaca Al-Qur’an Abu Bakar adalah seorang yang mudah menangis. Hal ini membuat para pemuka Quraisy cemas sehingga mereka memanggil Ibnu Daghnah dan berkata kepadanya.

kami telah melindungi Abu Bakar karena jaminanmu dengan syarat dia harus menyembah Rabbnyua di rumahnya. Tetapi, dia (sekarang) telah melanggar syarat itu, dia telah membangun sebuah masjid di halaman rumahnya lalu mendemonstrasikan shalat dan mengeraskan bacaan Al-Qur’an di dalamnya. Kami khawatir anak-anak dan para wanita kami terfitnah olehnya, maka cegahlah dia. Jika dia bersedia membatasi Ibadahnya di rumahnya maka teruskanlah perlindungan mu terhadapnya, tetapi jika dia tidak bersedia kecuali melakukan ibadahnya secara demonstratif maka mintalah agar ia menarik jaminanmu! Karena kami tidak ingin mencederai jaminanmu dan kami pun tidak menyetujui Abu Bakar Beribadah secara Demonstratif.”

Selanjutnya Aisyah berkata, “Kemudian Abu Daghnah mendatangi Abu Bakar dan berkata, “ Engkau tahu bahwa kau telah memberikan perlindungan kepadamu dengan persyaratan yang ada, (sekarang pilihlah) engkau membatasi ibadahmu atau engkau kembalikan perlindunganku, karena aku tidak suka orang-orang Arab mendengar bahwa aku mencederai perjanjian yang aku berikan kepada seseorang.” Abu Bakar menjawab ,

aku kembalikan perlindunganmu dan aku Ridha dengan perlindungan Allah saja.”

(Mukhtasharu as-Sirah, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 87-88)

Dari perlindungan ini ada beberapa hal yang dapat kita catat, yaitu sebagai berikut.

1.      Abu bakar Radiyallahuanhu keluar, dengan jelas, mencari keamanan untuk menyembah Rabbnya,

“kaumku telah mengusirku maka aku ingin pergi di muka bumi dan menyembah Rabbku”

Kemudian di tengah perjalanan ia bertemu dengan Ibnu Daghnah, kepala suku Qarah; suatu kabilah di luar kabilah Quraisy. Ia melihat bahwa orang seperti Abu Bakar tidak pantas diusir. Karena Abu bakar di dalam dan di luar kota Mekah , dikenal sebagai orang yang suka mengusahakan yang tiada, membantu yang sengsara, menghormati tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran. Sifat-sifat yang disebut Ibnu daghnah adalah sifat-sifat yang pernah dikemukakan oleh Khadijah tentang Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Ibnu daghnah tidak cukup hanya dengan Musyarakah Wujdaniyah  simpati secara Moral, tetapi juga mengajak Abu Bakar kembali ke Mekah dengan perlindungannya yang unik. Seorang kepala suku melindungi seorang dari suku lain dan di rumah kabilah itu sendiri. Sekalipun demikian, Quraisy tidak merasa keberatann sama sekali dan menerima perlindungan Ibnu daghnah terhadap Abu bakar. Perlindungan ini adalah untuk kebebasan beribadah.

2.      Tetapi setelah muncul perkembangan lain, dari kebebasan beribadah berkembang menjadi kebebasan da’wah, timbulah protes dari Quraisy yang menuntut agar Ibnu Daghnah membatalkan perlindungannya. Mereka tidak mau melihat perkembangan baru yang mengkhawatirkannya. Abu Bakar melakukan shalat di halaman rumahnya dan membaca Al-Qur’an dengan keras di dalam masjidnya sehingga menarik para wanita Quraisy dan putra-putra mereka. Sementara itu Ibnu Daghnah tidak mampu memberikan perlindungan untuk kebebasan Da’wah, sehingga ia menawarkan Alternatif kepada Abu Bakar antara membatasi kebebasannya, yakni tidak mengajak ke jalan Allah dengan imbalan hidup tenang di bawah perlindungan Ibnu Daghnah atau berda’wah dengan menanggung sendiri tanggung Jawab dan Risiko da’wahnya. Tetapi, Abu Bakar lebih mengutamakan menghadapi Risiko dan berda’wah di jalan Allah ketimbang keamanan dan kebebasan beribadah.

Jaminan Ibnu daghnah ini tidak sama dengan perlindungan Abu Thalib. Sebab, jaminan Abu Thalib adalah perlindungan untuk kebebasan Berda’wah,

“Pergilah wahai anak saudaraku dan katakanlah apa yang kamu suka.”

Sedangkan jaminan Ibnu Daghnah adalah perlindungan untuk kebebasan beribadah,

“Kembalilah dan Sembahlah Rabbmu di negrimu (sendiri).”

Kedua bentuk perlindungan ini terdapat di kota Mekah pada waktu itu. Kebanyakan orang memiliki kekuatan memberikan jaminan untuk kebebasan beribadah, tetapi sedikit sekali yang memiliki kekuatan memberikan jaminan untuk kebebabsan berda’wah. Bahkan hampir dapat dipastikan bahwa perlindungan untuk kebebasan ber’dawah ini hanya khusus bagi Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam. Itu pun kita masih melihat adanya berbagai usaha untuk mencederai dan menggagalkan perlindungan tersebut.

Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa Istifadah ‘Memanfaatkan’ Undang-undang jahiliyah adalah dibolehkan, jika terdapat kemaslahatan da’wah. Istifadah ini tidak bertentangan dengan prinsip aqidah, juga tidak berarti berhukum kepada selain syari’at Allah, sebagaimana dipahami oleh sebagian mereka yang terlalu bersemangat.

Diantara contoh pemanfaatan Undang-undang jahiliyah untuk kepentingan dan kemashlahatan da’wah, dalam sejarah da’wah masa kini, ialah ketika pemerintahan Mesir memenjarakan seorang da’i Islam, Muhammad Quthb, pada tahun 1966 M. Pada waktu itu. Asy Syahid Sayyid Quthb mengajukan gugatan (dengan memanfaatkan Undang-undang jahiliyah) kepada pemerintahan Mesir sehingga gugatan itu berhasil membatalkan undang-undang (tuduhan) pemenjaraannya. Padahal, dalam sejarah da’wah masa kini tidak pernah dikenal adanya orang yang menyamai Sayyid Quthb dalam soal berlepas diri (bara’) dari berhukum kepada selain hukum Allah. Ia adalah pelopor dalam soal berlepas diri dari undang-undang jahiliyah, sebagaimana dapat kita baca dalam semua bukunya dan dibuktikannya dalam kehidupannya sampai beliau syahid di tiang gantungan. Tetapi harus dibedakan, sebagimana ditunjukan oleh pemahaman Sayyid Quthb yang didasarkan kepada Sirah nabawiyah, antara rela menerima bahkan memperjuangkan sistem pemerintahan kafir dengan memanfaatkan sistem pemerintahan kafir untuk melindungi da’wah, para pemuda, dan kader-kadernya.

Dari sini pula dapatlah kami katakan, tentunya dengan hati-hati, bahwa DEMOKRASI –sebagai sistem non Islam—adalah lebih baik bagi gerakan Islam -- , daripada sistem diktator atau Tirani. Ia adalah iklim yang cocok untuk menggelar da’wah dan menyebarkannya. Ia, sekalipun merupakan sistem Jahiliyah, lebih bermanfaat bagi kaum muslimin daripada sistem jahiliyah yang lainnya. Ia, biasanya menjamin kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan beraqidah, atau dengan ungkapan lain, kebebasan beribadah dan kebebasan ber’dawah.

Setiap orang yang mengamati aset gerakan Islam masa kini pasti akan mengetahui bahwa setiap kali umat diberi kebebasan (beribadah dan berda’wah) pasti islam dengan cepat dan mudah masuk serta menyebar ke jalan-jalan, kampus-kampus, dan seluruh lapisan umat. Karena itu, setiap kali islam sampai kepada pemerintahan melalui jalan ini, pasti akan terjadi kudeta militer yang akan membungkam mulut, menjebloskan masyarakat ke dalam penjara-penjara dan mulailah genangan darah para pemuda islam yang dibantai. Sesungguhnya sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam yang menegaskan :

“Sesungguhnya di sana ada seorang Raja yang adil , yang di dalam pemerintahannya tidak boleh ada seorangpun dianiaya.”

Merupakan salah satu karakteristik gerakan islam dan salah satu langkah utama di antara langkah-langkah Manhaj ini. Ia akan membantu gerakan islam dalam menghadapi masyarakat yang ada dan membukakan berbagai pintu da’wah di jalan Allah.  
    
KARAKTERISTIK KE-DUAPULUH DELAPAN
Blokade Ekonomi dan Pemboikotan Umum untuk Menghancurkan Da’wah dan Para Sekutunya


“....Gerakan islam yang tengah memasuki Kancah Jihad dan menghadapi jahiliyah, tidak sulit mendapatkan sebagian contoh komunitas dan pimpinan-pimpina jahiliyah atau kabilah seperti Bani Hasyim dan Bani Muthalib, dan bergerak dari celah-celah undang-undang dan adat-adat jahiliah untuk melindungi gerakan.

Sebagian besar Undang-undang jahiliyah sangat menghargai kebebasan berbicara dan berkeyakinan. Di suatu negara yang menjadikan Demokrasi sebagai prinsip politik, terlepas dari pelaksanaannya secara konsisten atau tidak, dengan melaksanakan butir-butir yang terdapat di dalam undang-undang atau melindungi undang-undang kadang-kadang gerakan islam bisa mendapatkan orang yang bersedia mendukung dan melindunginya serta mencegah rencana-rencana pemusnahannya.

Iklim Demokrasi lebih cocok bagi gerakan Islam. Dari celah-celahnya kadang-kadang kita mendapatkan misalnya para anggota Parlemen yang mencegah dikeluarkannya Undang-undang pelarangan gerakan Islam bahkan para wakil itu kadang-kadang mengeluarkan Undang-undang yang menjamin perlindungan gerakan Islam. Kondisi -kondisi seperti ini bisa dimanfaatkan oleh gerakan Islam, dengan tetap menjaga batas-batasnya, untuk bergerak melakukan da’wah dan jihad dari celah-celahnya.

Tetapi harus diingat oleh gerakan Islam bahwa Iklim demokrasi apabila hanya sekedar slogan yang diucapkan maka ia tidak akan memberi manfaat sama sekali. Bahkan, atas nama demokrasi, gerakan islam bisa dibantai dan dimusnahkan terutama di negara-negara yang mereka istilahkan dengan negara-negara Dunia Ketiga. Karena itu, hendaknya gerakan islam tidak membuka semua kartunya, atas dasar iklim tersebut. Gerakan islam harus tetap menjaga aset personil, tanzhim, gerakan, dan markas-markasnya secara rahasia, agar tidak dimusnahkan seandainya jahiliyah berpikir ingin memusnahkannya. Oleh karena itu, kami memandang bahwa markas cadangan di Habasyah beserta semua personil dan kegiatannya, tetap dipertahankan di sana dan tidak diminta pulang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ke Mekah setelah adanya perlindungan tersebut. Karena, rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengetahui bahwa perlindungan tersebut hanya bersifat sementara dan bisa jadi tekanan-tekanan yang ada akan memaksa komunitas tersebut untuk menarik diri dan menyerah kepada kekjaman musuh.

Kita pernah menyaksikan slogan-slogan demokrasin palsu yang rontok di hadapan teror Nushairi yang kafir di Suriah sehingga Thagut nya dengan mudah dapat memaksa Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengeluarkan keputusan menetapkan hukuman mati bagi setiap orang yang bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Keputusan seperti ini hampir tidak ada bandingannya dalam sejarah. Seseorang dihukum mati karena komitmen pemikirannya atas nama dewan yang katanya mewakili rakyat.

Tetapi, di sisi lain kita temukan gambaran yang berbeda sama sekali. Suatu komunitas jahiliyah bersedia mengorbankan kepentingan, stabilitas, dan eksistensinya, demi membela Islam. Pengorbanan ini bukan hanya sehari atau dua hari, tetapi berjalan selama dua  atau tiga tahun. Saya merasa heran ketika membayangkan gambaran seorang musyrik yang meringkuk di salah satu sudut Syi’ib Abu Thalib dengan memegang senjata dan hampir meninggal karena kelaparan. Sementara, akal pikirannya digelayuti pertanyaan : mengapa aku harus menderita seperti ini ? jawabannya, demi membela Muhammad, Muhammad yang menyerang keyakinan-keyakinan saya dan mengecam Tuhan-Tuhan saya. Ia bertanya : bagaimana aku harus mati karena Muhammad? Tetapi, ia segera mengusir pertanyaan ini dan meyakinkan dirinya dalam mengambil sikap tersebut, selam Abu Thalib yang menyerukannya.

Dengan demikian, kita menemukan adanya jahiliyah yang meyakini nilai-nilai yang tetap dan bersedia mengorabankan kepentingan- kepentingan stabilitas dan eksistensinya demi islam.

Karena itu, kita tidak boleh secara emosional berpandangan bahwa jahiliyah selamanya bergerak atas dasar kepentingan-kepentingannya dan tidak meyakini sesuatu. Bahkan, kadang-kadang gerakan islam akan menemui sebagian contoh ini ditengah perjalanannya.

Sebagai buktinya adalah realitas gerakan islam yang sekarang sedang mengibarkan panji Jihad melawan Thagut di suriah. Bumi tempat melancarkan gerakan dan mencari perlindungan adalah negri-negri tetangga. Sebagian negri ini mendapatkan berbagai tekanan Internasional agar mengusir para pimpinan gerakan islam dan para pendukungnya dari negrinya, tetapi negri-negri tersebut tidak mau melakukannya. Kepentingan-kepentingannya terancam bahaya. Bahkan negara-negara besar sudah mulai melakukan Blokade dan pemboikotan terhadap negri-negri tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa gerakan Islam akan senantiasa mengenang sikap yang mulia ini. Ia akan membedakan antara orang yang mendukungnya di saat menghadapi cobaan berat, bahkan bersedia mengorbankan kepentingannya demi melindunginya--- kendatipun berbeda keyakinan—dan orang yang bersekongkol untuk menumpas dan menghabisinya. Jasa kebaikan tidak akan pernah hilang di sisi para ahli kebaikan.

(Al Manhaj Al haraki Lis-Siratin-Nabawiyah; Periode kedua : Jahriyatu ad-Da’wah wa Sirriyatu At-tanzhim – Syaikh Munir Muhammad Al-ghadban)

     



Wanita Safar



Pada prinsipnya, menurut ketetapan syari’at islam seorang wanita tidak boleh bepergian melainkan wajib ditemani oleh suami atau muhrimnya. Sebagai dasar ketetapan ini ialah hadits berikut ini : Dari Ibnu abbas radhiyallahu’anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam bersabda :

“Tidak boleh seorang wanita bepergian kecuali bersama muhrimnya, dan tidak boleh seorang laki-laki masuk ke tempat wanita kecuali dia bersama muhrimnya.” (H.R Bukhari dan lainnya)

Diriwayatkan pula dari abu Hurairah secara Marfu’ :

“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah hari akhir bepergian selama sehari semalam dengan tidak disertai muhrimnya.” (H.R Malik, Bukhari, Muslim, abu daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Dan diriwayatkan pula dari Abu Sa’id dari nabi Shalallahu’alaihi wa salam, beliau bersabda :

“Tidak boleh seorang wanita bepergian selama dua hari tanpa disertai oleh suaminya atau muhrimnya.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar Radiyallahuanh :

“Tidak boleh seorang wanita bepergian selama tiga malam kecuali bersama muhrimnya.” (Bukhari dan Muslim)

Tampaknya perbedaan riwayat tersebut disebabkan perbedaan orang yang bertanya dan bentuk pertanyaan mereka, sehingga munculah jawaban seperti itu. Namun, Abu hanifah menguatkan hadits Ibnu Umar yang terakhir, dan beliau berpendapat tidak diperlukan muhrim bagi wanita kecuali dalam perjalanan sejauh jarak yang memperbolehkan shalat Qashar. Demikian pula riwayat dari Imam ahmad.

Hadits-hadits ini meliputi semua macam berpergian, baik yang Wajib – seperti berziarah, berdagang, dan menuntut ilmu—atau yang lainnya.

Prinsip hukum atau ketetapan ini bukan berarti berprasangka buruk terhadap wanita dan akhlaknya, sebagaimana dugaan sebagian orang. Tetapi, hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik dan kehormatannya serta untuk melindunginya dari maksud jahat orang-orang yang hatinya berpenyakit. Selain itu, juga melindungi mereka dari sergapan musuh yang hendak berbuat melampaui batas, seperti serigala-serigala perusak kehormatan dan penyamun, khusunya bila si musafir melewati lingkungan yang membahayakan semisal padang pasir atau dalam situasi yang tidak aman dan sepi.

“Tetapi bagaimanakah hukumnya bila si wanita itu tidak mendapatkan muhrim yang dapat menemaninya dalam bepergian yang disyari’atkan, baik yang wajib, Mustahab, maupun yang Mubah? Sedangkan dia bersama dengan orang-orang lelaki yang bertanggung jawab atau wanita-wanita yang dapat dipercaya, atau perjalanan aman?”

Para Fuqaha telah membahas tema ini ketika membicarakan masalah wajibnya haji bagi wanita—sedangkan rasulullah shalallahu’alaihi wa salam melarang wanita bepergian sendirian tanpa disertai muhrim,

  1. Sebagian mereka berpegang teguh dengan zhahir hadits-hadits tersebut, sehingga mereka melarang wanita bepergian tanpa disertai muhrim meskipun untuk menunaikan kewajiban haji, tanpa memberikan pengecualian apap pun
  2. Sebagian lagi mengecualikan wanita tua yang sudah tidak mempunyai gairah seksual, sebagaimana yang dinukil dari Al Qadhi abul Walid Al yaji dari golongan Malikiyah. Hal ini membatasi hal yang umum dengan melihat kepada makna, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Id, yakni dengan memelihara faktor yang paling dominan.
  3. Sebagian lagi memberikan pengecualian apabila wanita tersebut bersama wanita-wanita lain yang dapat dipercaya, bahkan sebagian mereka menganggap cukup ditemani seorang wanita muslimah yang dapat dipercaya.
  4. Sedangkan sebagian yang lain lagi menganggap cukup dengan perjalanan yang aman, dan inilah pendapat yang dipilih oleh syaikhul islam ibnu Taimiyah.

Ibnu Muflih menyebutkan dalam al Furu’ dari beliau, katanya, “setiap wanita boleh menunaikan Ibadah haji bila keadaan aman, meskipun tidak disertai Muhrim.” Katanya lagi, “hal ini dimaksudkan untuk semua macam bepergian dalam rangka melaksanakan keta’atan.” Al Karabisi juga meriwayatkan pendapat seperti ini dari Imam Syafi’i mengenai haji Tathawwu’, Sementara sebagian murid beliau mengemukakan bahwa hal ini berlaku untuk pergi haji tathawwu’ dan untuk semua macam bepergian yang tidak wajib seperti ziarah dan berdagang.

Al Atsram meriwayatkan dari Imam ahmad bahwa bagi wanita yang akan menunaikan haji wajib tidak disyaratkan muhrim, dengan alasan apabila ia pergi bersama wanita lain dan orang yang dipercaya olehnya yang dapat menjamin keamanannya.

Ibnu Sirin berkata, “Bersama seorang muslim Laki-laki, tidak mengapa.”

Al auza’i berkata, “bersama kaum yang adil.”
Imam malik berkata, “Bersama jama’ah wanita.”
Imam Syafi’i berkata, “Bersama seorang wanita merdeka yang dapat dipercaya.” Sedangkan sebagian sahabat beliau berkata, “Boleh sendirian bilamana situasi aman.”

Al hafidz Ibnu hajar berkata, “pendapat yang masyhur di kalangan Syafi’iyah ialah disyaratkan adanya suami atau muhrim atau wanita-wanita terpercaya. Dan dalam satu Qaul  dikatakan : “Cukup dengan seorang wanita-wanita terpercaya. Kemudian di dalam Qaul yang dikutip oleh Karabisi dan disahkannya dalam Al Mahadzdzab bahwa seorang wanita boleh bepergian sendiri jika perjalanannya aman.

Apabila pendapat-pendapat orang mengenai perjalanan yang dilakukan seorang wanita untuk menunaikan haji dan umrah seperti itu, maka seyogyanya hukum ini diberlakukan untuk semua jenis bepergian, sebagaimana ditegaskan sebagian ulama. Karena maksudnya ialah menjaga dan melindungi wanita, dan hal ini terwujud dengan kondisi perjalanan yang aman dan adanya orang-orang yang dapat dipercaya baik dari kalangan kaum wanita maupun laki-laki

Yang menjadi dalil diperbolehkannya wanita bepergian tanpa disertai muhrim –apabila keadaan aman—atau bersama dengan orang-orang yang dapat dipercaya ialah :

Pertama : apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya bahwa Umar Radhiyallahuanhu mengizinkan istri-istri Nabi shalallahu’alaihi wa salam untuk menunaikan kewajiban haji mereka yang terakhir, lalu Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, dan Istri-istri Nabi shalallahu’alaihi wa salam sepakat untuk melakukan hal itu tanpa ada seorang pun sahabat yang mengingkarinya. Dengan demikian , hal ini dianggap sebagai ijma.

Kedua : Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Adi bin Hatim, bahwa Nabi shalallahu’alaihi wa salam bercerita kepadanya mengenai masa depan Islam dan perkembangannya, menjulangnya menara islam di muka bumi, di antara yang beliau katakan itu ialah :

“Kelak akan ada wanita dari kota Hirah (Irak) yang pergi mengunjungi Baitullah tanpa disertai suami, dengan tidak merasa takut kecuali kepada allah.”

Kabar tersebut tidak semata-mata menunjukkan akan terjadinya paeristiwa itu, bahkan lebih dari itu, yakni menunjukkan diperbolehkannya wanita pergi haji tanpa disertai suami bila memang kondisi nya aman. Karena hadits ini beliau ucapkan dalam rangka memuji perkembangan Islam dan keamanannya.

Mengenai masalah ini saya ingin mengemukakan dua kaidah penting, yaitu :

Pertama : Pada prinsipnya hukum-hukum muamalah itu melihat kepada makna dan maksud (tujuannya). Berbeda dengan hukum-hukum ibadah, yang prinsipnya adalah mengabdi dan melaksanakan perintah, tanpa melihat makna dan tujuannya, demikian alasan dan argumentasi yang diajukan Imam Asy Syathibi.

Kedua : sesuatu yang diharamkan karena dzatnya tidak dimubahkan (diperbolehkan) kecuali karena darurat, sedangkan sesuatu yang diharamkan karena untuk membendung jalan (saddadz dzari’ah) diperbolehkan karenan adanya kebutuhan. Dalam hal ini tidak diragukan lagi bahwa perjalanan yang dilakukan wanita tanpa disertai mahram termasuk sesuatu yang diharamkan karena untuk membendung penyebab (mencegah kepada haram karena dzatnya).

Perlu diperhatikan bahwa bepergian pada zaman kita sekarang ini tidak sama dengan bepergian tempo dulu yang penuh dengan karena harus melewati padang pasir, dihadang perampok, dan sebagainya. Bahkan bepergian sekarang sudah menggunakan alat-alat transportasi yang biasanya memuat banyak orang, seperti kapal laut, pesawat terbang, dan Bus. Hal ini menimbulkan rasa percaya dan menghilangkan kekhawatiran terhadap kaum wanita, karena ia tidak sendirian berada di suatu tempat.

Karena itu tidak mengapa seorang wanita pergi menunaikan haji dalam suasana yang penuh ketenangan dan keamanan ini.

Wabillahit Taufiq

(Fatwa – fatwa Kontemporer ; Jilid 1 ; hlm. 446 – Dr. Yusuf Qaradhawi)