KARAKTERISTIK KE-ENAM BELAS
Memanfaatkan Undang-Undang
Masyarakat Musyrik (Undang-Undang Perlindungan dan Jaminan Keamanan)
Masyarakat jahiliah sangat menghargai Undang-undang perlindungan pihak yang
kuat kepada pihak yang lemah. Jika seseorang yang lemah masuk ke dalam jaminan
keamanan (jiwa) orang yang kuat maka orang tersebut dapat menikmati
perlindungan kebebasan bergerak dan berpikir, sehingga pihak musuh tidak akan
dapat mengganggunya sama sekali. Jika ada pihak yang mengganggunya maka ini
berarti peperangan antara kedua belah pihak. Oleh sebab itu, orang yang
mengumumkan atau memberi perlindungan haruslah orang yang mulia dan terpandang
di kaumnya, mampu memberikan perlindungan dan memperhitungkan segala
kemungkinan dadakan yang mungkin terjadi. Marilah kita membahas beberapa contoh
dari perlindungan ini. Perlindungan pertama dalam masyarakat Mekah ialah
perlindungan Abu Thalib kepada Muhammad Shalallahu’alaihi wa salam.
Berkata Ibnu Ishaq, “Paman Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam , Abu
Thalib, Melindungi dan membelanya sehingga beliau terus melanjutkan Da’wahnya
tanpa mempedulikan gangguan apapun. Ketika Quraisy melihat bahwa Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa salam terus mengecam Tuhan-tuhan mereka, sementara Abu
Thalib telah melindunginya sehingga menolak menyerahkannya kepada mereka,
berangkatlah beberapa orang menemui Abu Thalib. Mereka berkata,
“Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu
telah mengecam tuhan-tuhan dan agama kita, mencela mimpi-mimpi kita, dan
menyatakan nenek Moyang kita sesat. Kami harap engkau dapat mencegahnya atau
biarkan kami bertindak terhadapnya.”
Abu Thalib menjawab pernyataan mereka dengan lembut dan baik sampai mereka
kembali. Sementara itu Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam terus melakukan
da’wahnya sehingga beliau senantiasa menjadi bahan pembicaraan di kalangan
Quraisy. Hal ini membuat mereka semakin benci kepada beliau dan berusaha
menghentikan da’wahnya.
Maka mereka mendatangi Abu Thalib untuk kedua kalinya. Kata Mereka,
“Wahai Abu Thalib, sesungguhnya engkau adalah
orang yang dituakan dan memiliki kedudukan mulia di antara kami. Kami telah
meminta agar engkau berkenan mencegah anak saudaramu, tetapi engkau tidak
mencegahnya. Demi Allah, kami tidak bisa sabar mendengar cacian terhadap
bapak-bapak kam, mimpi-mimpi kami, dan Tuhan-tuhan kami. Sampai engkau
mencegahnya atau kami yang menghentikannya hingga salah satu di antara kedua
belah pihak hancur binasa.”
Kemudian abu Thalib memanggil Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam dan
berkata kepada beliau,
“Wahai anak saudaraku, sesungguhnya kaummu telah
datang kepadaku berkata begini dan begitu (seperti perkataan mereka), maka
jagalah diriku dan dirimu, dan janganlah engkau memikulkan sesuatu yang aku
tidak sanggup memikulnya.”
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam menyangka bahwa pamannya telah
mengambil keputusan untuk menyerahkannya dan tidak sanggup lagi membelanya,
maka Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam bersabda kepadanya,
“Wahai Paman, Demi Allah, seandainya mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan Bulan di tangan kiriku agar aku
meninggalkan urusan ini, aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah
memenangkannya atau aku binasa karenanya.”
Kemudian Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam tampak sedih dan bangkit
meninggalkan pamannya. Tetapi, belum jauh Rasulullah berjalan, Abu Thalib
memanggilnya,
“Kemarilah wahai anak Saudaraku!”, Setelah
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam kembali lagi di hadapannya, abu Thalib
berkata, “Pergilah wahai anak saudaraku dan katakanlah apa yang kamu suka, demi
Allah aku tidak akan menyerahkan kamu untuk selama-lamanya.” (Sirah
Nabawiyah, Ibnu Hisyam, I/284 – 285)
Dari perlindungan ini ada tiga hal yang dapat kita catat, yaitu sebagai
berikut :
1. Quraisy berusaha membujuk
Abu Thalib agar mau mencegah anak saudaranya dari meyampaikan da’wah kepada
agama baru ini. Tetapi, usaha tersebut gagal. Inilah yang kita perkirakan
ketika memanfaatkan Undang-undang masyarakat jahiliyah, yaitu usaha membuat
undang-undang baru untuk menghalangi kebebasan berda’wah.
2. Pada usaha yang kedua,
Quraisy menggunakan ancaman dan berhasil mempengaruhi nyali Abu Thalib sehingga
dia mengajak Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam agar menghentikan da’wah
kepada agama ini. Karena, ia tidak mampu lagi melindunginya dalam keadaan
demikian. Tetapi, keteguhan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam dalam
mempertahankan kebenaran – betapapun resikonya—telah berhasil meneguhkan
kembali nyali Abu Thalib untuk memberikan perlindungan kepada Nabi
Shalallahu’alaihi wa salam.
Dari sini kita dapat memahami bahwa kegagalan
jahilyah pada usaha yang pertama untuk memukul da’wah Islam tidak membuatnya
jera. Bahkan, ia pasti akan mengulanginya lagi sampai berhasil
menghancurkannya. Namun, kesadaran dan keteguhan gerakan islam sudah cukup
untuk menggagalkan usaha-usaha kelompok yang memusuhi islam ini. Dalam pada
itu, gerakan islam perlu memanfaatkan semua pertentangan msyarakat jahiliyah
untuk dikonfrontasikan antara yang satu dan yang lainnya, sehingga gerakan
islam dapat memanfaatkan nya untuk kepentingan da’wah.
3. Memanfaatkan fanatisme
Jahiliyah (Undang-undang jahiliyah) untuk melindungi para pemuda da’wah adalah dibenarkan
Syari’at. Seorang anak dari keluarga
besar dan kabilah berpengaruh, yang dapat melobi pemimpin keluarga tersebut
untuk melindungi dirinya, tidak berarti bahwa ia telah melepaskan agamanya
karena tindakan tersebut. Para da’i yang dapat memanfaatkan seorang Jendral
berpengaruh besar dalam militer atau intelejen atau seorang menteri yang
disegani dalam negara, tidak berarti mengurangi kemurnian aqidah para da’i
tersebut. Bahkan, merupakan hak para pemuda da’wah dalam tahapan yang masih
lemah untuk mencari “sandaran” yang kuat dalam masyarakat jahiliyah guna
melindungi dirinya serta menjamin kebebasan aqidahnya dan kebebasan berda’wah
kepadanya. Perlindungan Abu Thalib kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa
salam telah memberikan berbagai jalan kepadanya dalam menyebarkan da’wah di
tengah kota Mekah tanpa mendapatkan gangguan yang berarti. Sabda Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa salam :
“Quraisy tidak dapat melancarkan suatu tindakan
yang tidak aku sukai sampai Abu Thalib meninggal dunia.” ((Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, II/58)
Ini tidak berarti bahwa jahiliyah telah mematuhi perjanjiannya dan
menghargai perlindungan Abu Thalib selama sepuluh tahun. Namun, dapat
dipastikan bahwa jahiliyah telah gagal dalam berbagai usahanya untuk mencederai
perjanjian tersebut. Perlindungan Abu thalib tersebut punya pengaruh besar
sehingga dapat menghindarkan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam dari gangguna
yang berat.
Selanjutnya, kita berpindah kepada contoh kedua dari perlindungan ini,
yaitu perlindungan Ibnu Daghnah kepada Abu Bakar Radiyallahuanhu.
Di dalam riwayat yang shahih, Aisyah Radiyallahuanha berkata, “Saya tidak
menginjak usia dewasa kecuali kedua orangtuaku
telah menganut agama (Islam) dan tidaklah berlalu satu hari kecuali
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam datang kepada kami pada kedua ujung
siang, pagi dan sore. Dan, ketika kaum muslimin menghadapi cobaan berat, Abu
bakar pergi keluar hendak Hijrah ke Habasyah. Ketika tiba di barkul Ghimad ia
bertemu dengan ibnu Daghnah, kepala suku Qarah. Ibnnu Daghnah bertanya,
“Hendak kemana wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, “kaumku
telah mengusirku maka aku ingin pergi di muka bumi dan menyembah Rabbku. Ibnu
Daghnah berkata, “Orang seperti kamu wahai Abu bakar tidak pantas keluar dan
tidak pantas pula diusir. Sesungguhnya kamu adalah orang yang suka mengusahakan
yang tiada, menolong orang yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang
yang berdiri di atas kebenaran. Karena itu, aku berikan perlindungan kepadamu.
Kembalilah dan sembahlah Rabbmu di negrimu (sendiri).”
Kemudian Abu bakar kembali bersama Ibnu daghnah. Sesampainya di Mekah, Ibnu
Daghnah berkeliling (thawaf) di ka’bah pada waktu Sore di hadapan para pemuka
Quraisy. Lalu berkata kepada mereka,
“Sesungguhnya orang seperti Abu Bakar tidak pantas keluar dan
dikeluarkan. Apakah kalian mengusir seorang yang suka mengusahakan yang tiada,
menyambung tali kekeluargaan, membantu orang yang sengsara, menghormati tamu,
dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran?” Para pemuka Quraisy itu tidak menolak
perlindungan Ibnu Daghnah bahkan mereka berkata kepada Ibnu Daghnah, “Perintahkanlah
Abu bakar untuk menyembah rabbnya di rumahnya, shalat di dalam nya dan membaca
apa yang ia suka asalkan tidak menyakiti kita dan tidak secara terang-terangan,
karena kami khawatir para wanita dan
anak-anak kita akan terfitnah.”
Kemudian hal itu disampaikan Ibnu Daghnah kepada Abu bakar. Dengan perlindungan
itu abu Bakar tinggal (di Mekah) menyembah Rabbnya di rumahnya, kemudian Abu
Bakar membangun mesjid di halaman Rumahnya. Di masjid ini Abu Bakar
melaksanakan Shalat dan Membaca Al-Qur’, sehingga para wanita dan anak-anak
kaum Musyrikin tertarik dan memperhatikannya.
Apabila membaca Al-Qur’an Abu Bakar adalah seorang yang mudah menangis. Hal
ini membuat para pemuka Quraisy cemas sehingga mereka memanggil Ibnu Daghnah
dan berkata kepadanya.
“kami telah melindungi Abu Bakar karena jaminanmu dengan syarat dia
harus menyembah Rabbnyua di rumahnya. Tetapi, dia (sekarang) telah melanggar
syarat itu, dia telah membangun sebuah masjid di halaman rumahnya lalu
mendemonstrasikan shalat dan mengeraskan bacaan Al-Qur’an di dalamnya. Kami
khawatir anak-anak dan para wanita kami terfitnah olehnya, maka cegahlah dia. Jika
dia bersedia membatasi Ibadahnya di rumahnya maka teruskanlah perlindungan mu
terhadapnya, tetapi jika dia tidak bersedia kecuali melakukan ibadahnya secara
demonstratif maka mintalah agar ia menarik jaminanmu! Karena kami tidak ingin
mencederai jaminanmu dan kami pun tidak menyetujui Abu Bakar Beribadah secara
Demonstratif.”
Selanjutnya Aisyah berkata, “Kemudian Abu Daghnah mendatangi Abu
Bakar dan berkata, “ Engkau tahu bahwa kau telah memberikan perlindungan
kepadamu dengan persyaratan yang ada, (sekarang pilihlah) engkau membatasi
ibadahmu atau engkau kembalikan perlindunganku, karena aku tidak suka
orang-orang Arab mendengar bahwa aku mencederai perjanjian yang aku berikan
kepada seseorang.” Abu Bakar menjawab ,
“aku kembalikan perlindunganmu dan aku Ridha dengan perlindungan Allah
saja.”
(Mukhtasharu as-Sirah, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 87-88)
Dari perlindungan ini ada beberapa hal yang dapat kita catat, yaitu sebagai
berikut.
1. Abu bakar Radiyallahuanhu
keluar, dengan jelas, mencari keamanan untuk menyembah Rabbnya,
“kaumku telah mengusirku maka aku ingin pergi di
muka bumi dan menyembah Rabbku”
Kemudian di tengah perjalanan ia bertemu dengan Ibnu Daghnah, kepala suku
Qarah; suatu kabilah di luar kabilah Quraisy. Ia melihat bahwa orang seperti
Abu Bakar tidak pantas diusir. Karena Abu bakar di dalam dan di luar kota Mekah
, dikenal sebagai orang yang suka mengusahakan yang tiada, membantu yang
sengsara, menghormati tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.
Sifat-sifat yang disebut Ibnu daghnah adalah sifat-sifat yang pernah
dikemukakan oleh Khadijah tentang Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam.
Ibnu daghnah tidak cukup hanya dengan Musyarakah Wujdaniyah simpati secara Moral, tetapi juga
mengajak Abu Bakar kembali ke Mekah dengan perlindungannya yang unik. Seorang
kepala suku melindungi seorang dari suku lain dan di rumah kabilah itu sendiri.
Sekalipun demikian, Quraisy tidak merasa keberatann sama sekali dan menerima
perlindungan Ibnu daghnah terhadap Abu bakar. Perlindungan ini adalah untuk
kebebasan beribadah.
2. Tetapi setelah muncul
perkembangan lain, dari kebebasan beribadah berkembang menjadi kebebasan
da’wah, timbulah protes dari Quraisy yang menuntut agar Ibnu Daghnah
membatalkan perlindungannya. Mereka tidak mau melihat perkembangan baru yang
mengkhawatirkannya. Abu Bakar melakukan shalat di halaman rumahnya dan membaca
Al-Qur’an dengan keras di dalam masjidnya sehingga menarik para wanita Quraisy
dan putra-putra mereka. Sementara itu Ibnu Daghnah tidak mampu memberikan
perlindungan untuk kebebasan Da’wah, sehingga ia menawarkan Alternatif kepada
Abu Bakar antara membatasi kebebasannya, yakni tidak mengajak ke jalan Allah
dengan imbalan hidup tenang di bawah perlindungan Ibnu Daghnah atau berda’wah
dengan menanggung sendiri tanggung Jawab dan Risiko da’wahnya. Tetapi, Abu
Bakar lebih mengutamakan menghadapi Risiko dan berda’wah di jalan Allah
ketimbang keamanan dan kebebasan beribadah.
Jaminan Ibnu daghnah ini tidak sama dengan perlindungan Abu Thalib.
Sebab, jaminan Abu Thalib adalah perlindungan untuk kebebasan Berda’wah,
“Pergilah wahai anak saudaraku dan katakanlah apa
yang kamu suka.”
Sedangkan jaminan Ibnu Daghnah adalah perlindungan untuk kebebasan
beribadah,
“Kembalilah dan Sembahlah Rabbmu di negrimu
(sendiri).”
Kedua bentuk perlindungan ini terdapat di kota Mekah pada waktu itu.
Kebanyakan orang memiliki kekuatan memberikan jaminan untuk kebebasan
beribadah, tetapi sedikit sekali yang memiliki kekuatan memberikan jaminan
untuk kebebabsan berda’wah. Bahkan hampir dapat dipastikan bahwa perlindungan
untuk kebebasan ber’dawah ini hanya khusus bagi Rasulullah shalallahu’alaihi wa
salam. Itu pun kita masih melihat adanya berbagai usaha untuk mencederai dan
menggagalkan perlindungan tersebut.
Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa Istifadah ‘Memanfaatkan’
Undang-undang jahiliyah adalah dibolehkan, jika terdapat kemaslahatan da’wah. Istifadah ini tidak bertentangan dengan prinsip aqidah, juga
tidak berarti berhukum kepada selain syari’at Allah, sebagaimana dipahami oleh
sebagian mereka yang terlalu bersemangat.
Diantara contoh pemanfaatan Undang-undang jahiliyah untuk kepentingan dan
kemashlahatan da’wah, dalam sejarah da’wah masa kini, ialah ketika pemerintahan
Mesir memenjarakan seorang da’i Islam, Muhammad Quthb, pada tahun 1966 M. Pada
waktu itu. Asy Syahid Sayyid Quthb mengajukan gugatan (dengan memanfaatkan
Undang-undang jahiliyah) kepada pemerintahan Mesir sehingga gugatan itu
berhasil membatalkan undang-undang (tuduhan) pemenjaraannya. Padahal, dalam
sejarah da’wah masa kini tidak pernah dikenal adanya orang yang menyamai Sayyid
Quthb dalam soal berlepas diri (bara’) dari berhukum kepada selain hukum Allah.
Ia adalah pelopor dalam soal berlepas diri dari undang-undang jahiliyah,
sebagaimana dapat kita baca dalam semua bukunya dan dibuktikannya dalam
kehidupannya sampai beliau syahid di tiang gantungan. Tetapi harus dibedakan,
sebagimana ditunjukan oleh pemahaman Sayyid Quthb yang didasarkan kepada Sirah
nabawiyah, antara rela menerima bahkan memperjuangkan sistem pemerintahan kafir
dengan memanfaatkan sistem pemerintahan kafir untuk melindungi da’wah, para
pemuda, dan kader-kadernya.
Dari sini pula dapatlah kami katakan, tentunya dengan hati-hati, bahwa
DEMOKRASI –sebagai sistem non Islam—adalah lebih baik bagi gerakan Islam -- ,
daripada sistem diktator atau Tirani. Ia adalah iklim yang cocok untuk
menggelar da’wah dan menyebarkannya. Ia, sekalipun merupakan sistem Jahiliyah,
lebih bermanfaat bagi kaum muslimin daripada sistem jahiliyah yang lainnya. Ia,
biasanya menjamin kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan beraqidah,
atau dengan ungkapan lain, kebebasan beribadah dan kebebasan ber’dawah.
Setiap orang yang mengamati aset gerakan Islam masa kini pasti akan
mengetahui bahwa setiap kali umat diberi kebebasan (beribadah dan berda’wah)
pasti islam dengan cepat dan mudah masuk serta menyebar ke jalan-jalan,
kampus-kampus, dan seluruh lapisan umat. Karena itu, setiap kali islam sampai
kepada pemerintahan melalui jalan ini, pasti akan terjadi kudeta militer yang
akan membungkam mulut, menjebloskan masyarakat ke dalam penjara-penjara dan
mulailah genangan darah para pemuda islam yang dibantai. Sesungguhnya sabda
Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam yang menegaskan :
“Sesungguhnya di sana ada seorang Raja yang adil ,
yang di dalam pemerintahannya tidak boleh ada seorangpun dianiaya.”
Merupakan salah satu karakteristik gerakan islam dan salah satu langkah
utama di antara langkah-langkah Manhaj ini. Ia akan membantu gerakan islam
dalam menghadapi masyarakat yang ada dan membukakan berbagai pintu da’wah di
jalan Allah.
KARAKTERISTIK KE-DUAPULUH DELAPAN
Blokade Ekonomi dan Pemboikotan
Umum untuk Menghancurkan Da’wah dan Para Sekutunya
“....Gerakan islam yang tengah memasuki Kancah Jihad dan menghadapi
jahiliyah, tidak sulit mendapatkan sebagian contoh komunitas dan
pimpinan-pimpina jahiliyah atau kabilah seperti Bani Hasyim dan Bani Muthalib,
dan bergerak dari celah-celah undang-undang dan adat-adat jahiliah untuk
melindungi gerakan.
Sebagian besar Undang-undang jahiliyah sangat menghargai kebebasan
berbicara dan berkeyakinan. Di suatu negara yang menjadikan Demokrasi sebagai
prinsip politik, terlepas dari pelaksanaannya secara konsisten atau tidak,
dengan melaksanakan butir-butir yang terdapat di dalam undang-undang atau
melindungi undang-undang kadang-kadang gerakan islam bisa mendapatkan orang
yang bersedia mendukung dan melindunginya serta mencegah rencana-rencana
pemusnahannya.
Iklim Demokrasi lebih cocok bagi gerakan Islam.
Dari celah-celahnya kadang-kadang kita mendapatkan misalnya para anggota
Parlemen yang mencegah dikeluarkannya Undang-undang pelarangan gerakan Islam
bahkan para wakil itu kadang-kadang mengeluarkan Undang-undang yang menjamin
perlindungan gerakan Islam. Kondisi -kondisi seperti ini bisa dimanfaatkan oleh gerakan Islam,
dengan tetap menjaga batas-batasnya, untuk bergerak melakukan da’wah dan
jihad dari celah-celahnya.
Tetapi harus diingat oleh gerakan Islam bahwa Iklim demokrasi apabila hanya
sekedar slogan yang diucapkan maka ia tidak akan memberi manfaat sama sekali.
Bahkan, atas nama demokrasi, gerakan islam bisa dibantai dan dimusnahkan
terutama di negara-negara yang mereka istilahkan dengan negara-negara Dunia Ketiga.
Karena itu, hendaknya gerakan islam tidak membuka semua kartunya, atas dasar
iklim tersebut. Gerakan islam harus tetap menjaga aset personil, tanzhim,
gerakan, dan markas-markasnya secara rahasia, agar tidak dimusnahkan seandainya
jahiliyah berpikir ingin memusnahkannya. Oleh karena itu, kami memandang bahwa
markas cadangan di Habasyah beserta semua personil dan kegiatannya, tetap
dipertahankan di sana dan tidak diminta pulang oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam ke Mekah setelah adanya perlindungan tersebut. Karena,
rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengetahui bahwa perlindungan tersebut
hanya bersifat sementara dan bisa jadi tekanan-tekanan yang ada akan memaksa
komunitas tersebut untuk menarik diri dan menyerah kepada kekjaman musuh.
Kita pernah menyaksikan slogan-slogan demokrasin palsu yang rontok di
hadapan teror Nushairi yang kafir di Suriah sehingga Thagut nya dengan mudah
dapat memaksa Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengeluarkan keputusan menetapkan
hukuman mati bagi setiap orang yang bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.
Keputusan seperti ini hampir tidak ada bandingannya dalam sejarah. Seseorang
dihukum mati karena komitmen pemikirannya atas nama dewan yang katanya mewakili
rakyat.
Tetapi, di sisi lain kita temukan gambaran yang berbeda sama sekali. Suatu
komunitas jahiliyah bersedia mengorbankan kepentingan, stabilitas, dan
eksistensinya, demi membela Islam. Pengorbanan ini bukan hanya sehari atau dua
hari, tetapi berjalan selama dua atau tiga
tahun. Saya merasa heran ketika membayangkan gambaran seorang musyrik yang
meringkuk di salah satu sudut Syi’ib Abu Thalib dengan memegang senjata
dan hampir meninggal karena kelaparan. Sementara, akal pikirannya digelayuti
pertanyaan : mengapa aku harus menderita seperti ini ? jawabannya, demi membela
Muhammad, Muhammad yang menyerang keyakinan-keyakinan saya dan mengecam
Tuhan-Tuhan saya. Ia bertanya : bagaimana aku harus mati karena Muhammad?
Tetapi, ia segera mengusir pertanyaan ini dan meyakinkan dirinya dalam
mengambil sikap tersebut, selam Abu Thalib yang menyerukannya.
Dengan demikian, kita menemukan adanya jahiliyah yang meyakini nilai-nilai
yang tetap dan bersedia mengorabankan kepentingan- kepentingan stabilitas dan
eksistensinya demi islam.
Karena itu, kita tidak boleh secara emosional berpandangan bahwa jahiliyah
selamanya bergerak atas dasar kepentingan-kepentingannya dan tidak meyakini
sesuatu. Bahkan, kadang-kadang gerakan islam akan menemui sebagian contoh ini
ditengah perjalanannya.
Sebagai buktinya adalah realitas gerakan islam yang sekarang sedang
mengibarkan panji Jihad melawan Thagut di suriah. Bumi tempat melancarkan
gerakan dan mencari perlindungan adalah negri-negri tetangga. Sebagian negri
ini mendapatkan berbagai tekanan Internasional agar mengusir para pimpinan gerakan
islam dan para pendukungnya dari negrinya, tetapi negri-negri tersebut tidak
mau melakukannya. Kepentingan-kepentingannya terancam bahaya. Bahkan
negara-negara besar sudah mulai melakukan Blokade dan pemboikotan terhadap
negri-negri tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa gerakan Islam akan senantiasa
mengenang sikap yang mulia ini. Ia akan membedakan antara orang yang
mendukungnya di saat menghadapi cobaan berat, bahkan bersedia mengorbankan
kepentingannya demi melindunginya--- kendatipun berbeda keyakinan—dan orang
yang bersekongkol untuk menumpas dan menghabisinya. Jasa kebaikan tidak akan
pernah hilang di sisi para ahli kebaikan.
(Al Manhaj Al haraki Lis-Siratin-Nabawiyah; Periode kedua : Jahriyatu
ad-Da’wah wa Sirriyatu At-tanzhim – Syaikh Munir Muhammad Al-ghadban)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar