Selasa, 07 Mei 2013

Wanita Safar



Pada prinsipnya, menurut ketetapan syari’at islam seorang wanita tidak boleh bepergian melainkan wajib ditemani oleh suami atau muhrimnya. Sebagai dasar ketetapan ini ialah hadits berikut ini : Dari Ibnu abbas radhiyallahu’anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam bersabda :

“Tidak boleh seorang wanita bepergian kecuali bersama muhrimnya, dan tidak boleh seorang laki-laki masuk ke tempat wanita kecuali dia bersama muhrimnya.” (H.R Bukhari dan lainnya)

Diriwayatkan pula dari abu Hurairah secara Marfu’ :

“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah hari akhir bepergian selama sehari semalam dengan tidak disertai muhrimnya.” (H.R Malik, Bukhari, Muslim, abu daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Dan diriwayatkan pula dari Abu Sa’id dari nabi Shalallahu’alaihi wa salam, beliau bersabda :

“Tidak boleh seorang wanita bepergian selama dua hari tanpa disertai oleh suaminya atau muhrimnya.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar Radiyallahuanh :

“Tidak boleh seorang wanita bepergian selama tiga malam kecuali bersama muhrimnya.” (Bukhari dan Muslim)

Tampaknya perbedaan riwayat tersebut disebabkan perbedaan orang yang bertanya dan bentuk pertanyaan mereka, sehingga munculah jawaban seperti itu. Namun, Abu hanifah menguatkan hadits Ibnu Umar yang terakhir, dan beliau berpendapat tidak diperlukan muhrim bagi wanita kecuali dalam perjalanan sejauh jarak yang memperbolehkan shalat Qashar. Demikian pula riwayat dari Imam ahmad.

Hadits-hadits ini meliputi semua macam berpergian, baik yang Wajib – seperti berziarah, berdagang, dan menuntut ilmu—atau yang lainnya.

Prinsip hukum atau ketetapan ini bukan berarti berprasangka buruk terhadap wanita dan akhlaknya, sebagaimana dugaan sebagian orang. Tetapi, hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik dan kehormatannya serta untuk melindunginya dari maksud jahat orang-orang yang hatinya berpenyakit. Selain itu, juga melindungi mereka dari sergapan musuh yang hendak berbuat melampaui batas, seperti serigala-serigala perusak kehormatan dan penyamun, khusunya bila si musafir melewati lingkungan yang membahayakan semisal padang pasir atau dalam situasi yang tidak aman dan sepi.

“Tetapi bagaimanakah hukumnya bila si wanita itu tidak mendapatkan muhrim yang dapat menemaninya dalam bepergian yang disyari’atkan, baik yang wajib, Mustahab, maupun yang Mubah? Sedangkan dia bersama dengan orang-orang lelaki yang bertanggung jawab atau wanita-wanita yang dapat dipercaya, atau perjalanan aman?”

Para Fuqaha telah membahas tema ini ketika membicarakan masalah wajibnya haji bagi wanita—sedangkan rasulullah shalallahu’alaihi wa salam melarang wanita bepergian sendirian tanpa disertai muhrim,

  1. Sebagian mereka berpegang teguh dengan zhahir hadits-hadits tersebut, sehingga mereka melarang wanita bepergian tanpa disertai muhrim meskipun untuk menunaikan kewajiban haji, tanpa memberikan pengecualian apap pun
  2. Sebagian lagi mengecualikan wanita tua yang sudah tidak mempunyai gairah seksual, sebagaimana yang dinukil dari Al Qadhi abul Walid Al yaji dari golongan Malikiyah. Hal ini membatasi hal yang umum dengan melihat kepada makna, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Id, yakni dengan memelihara faktor yang paling dominan.
  3. Sebagian lagi memberikan pengecualian apabila wanita tersebut bersama wanita-wanita lain yang dapat dipercaya, bahkan sebagian mereka menganggap cukup ditemani seorang wanita muslimah yang dapat dipercaya.
  4. Sedangkan sebagian yang lain lagi menganggap cukup dengan perjalanan yang aman, dan inilah pendapat yang dipilih oleh syaikhul islam ibnu Taimiyah.

Ibnu Muflih menyebutkan dalam al Furu’ dari beliau, katanya, “setiap wanita boleh menunaikan Ibadah haji bila keadaan aman, meskipun tidak disertai Muhrim.” Katanya lagi, “hal ini dimaksudkan untuk semua macam bepergian dalam rangka melaksanakan keta’atan.” Al Karabisi juga meriwayatkan pendapat seperti ini dari Imam Syafi’i mengenai haji Tathawwu’, Sementara sebagian murid beliau mengemukakan bahwa hal ini berlaku untuk pergi haji tathawwu’ dan untuk semua macam bepergian yang tidak wajib seperti ziarah dan berdagang.

Al Atsram meriwayatkan dari Imam ahmad bahwa bagi wanita yang akan menunaikan haji wajib tidak disyaratkan muhrim, dengan alasan apabila ia pergi bersama wanita lain dan orang yang dipercaya olehnya yang dapat menjamin keamanannya.

Ibnu Sirin berkata, “Bersama seorang muslim Laki-laki, tidak mengapa.”

Al auza’i berkata, “bersama kaum yang adil.”
Imam malik berkata, “Bersama jama’ah wanita.”
Imam Syafi’i berkata, “Bersama seorang wanita merdeka yang dapat dipercaya.” Sedangkan sebagian sahabat beliau berkata, “Boleh sendirian bilamana situasi aman.”

Al hafidz Ibnu hajar berkata, “pendapat yang masyhur di kalangan Syafi’iyah ialah disyaratkan adanya suami atau muhrim atau wanita-wanita terpercaya. Dan dalam satu Qaul  dikatakan : “Cukup dengan seorang wanita-wanita terpercaya. Kemudian di dalam Qaul yang dikutip oleh Karabisi dan disahkannya dalam Al Mahadzdzab bahwa seorang wanita boleh bepergian sendiri jika perjalanannya aman.

Apabila pendapat-pendapat orang mengenai perjalanan yang dilakukan seorang wanita untuk menunaikan haji dan umrah seperti itu, maka seyogyanya hukum ini diberlakukan untuk semua jenis bepergian, sebagaimana ditegaskan sebagian ulama. Karena maksudnya ialah menjaga dan melindungi wanita, dan hal ini terwujud dengan kondisi perjalanan yang aman dan adanya orang-orang yang dapat dipercaya baik dari kalangan kaum wanita maupun laki-laki

Yang menjadi dalil diperbolehkannya wanita bepergian tanpa disertai muhrim –apabila keadaan aman—atau bersama dengan orang-orang yang dapat dipercaya ialah :

Pertama : apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya bahwa Umar Radhiyallahuanhu mengizinkan istri-istri Nabi shalallahu’alaihi wa salam untuk menunaikan kewajiban haji mereka yang terakhir, lalu Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, dan Istri-istri Nabi shalallahu’alaihi wa salam sepakat untuk melakukan hal itu tanpa ada seorang pun sahabat yang mengingkarinya. Dengan demikian , hal ini dianggap sebagai ijma.

Kedua : Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Adi bin Hatim, bahwa Nabi shalallahu’alaihi wa salam bercerita kepadanya mengenai masa depan Islam dan perkembangannya, menjulangnya menara islam di muka bumi, di antara yang beliau katakan itu ialah :

“Kelak akan ada wanita dari kota Hirah (Irak) yang pergi mengunjungi Baitullah tanpa disertai suami, dengan tidak merasa takut kecuali kepada allah.”

Kabar tersebut tidak semata-mata menunjukkan akan terjadinya paeristiwa itu, bahkan lebih dari itu, yakni menunjukkan diperbolehkannya wanita pergi haji tanpa disertai suami bila memang kondisi nya aman. Karena hadits ini beliau ucapkan dalam rangka memuji perkembangan Islam dan keamanannya.

Mengenai masalah ini saya ingin mengemukakan dua kaidah penting, yaitu :

Pertama : Pada prinsipnya hukum-hukum muamalah itu melihat kepada makna dan maksud (tujuannya). Berbeda dengan hukum-hukum ibadah, yang prinsipnya adalah mengabdi dan melaksanakan perintah, tanpa melihat makna dan tujuannya, demikian alasan dan argumentasi yang diajukan Imam Asy Syathibi.

Kedua : sesuatu yang diharamkan karena dzatnya tidak dimubahkan (diperbolehkan) kecuali karena darurat, sedangkan sesuatu yang diharamkan karena untuk membendung jalan (saddadz dzari’ah) diperbolehkan karenan adanya kebutuhan. Dalam hal ini tidak diragukan lagi bahwa perjalanan yang dilakukan wanita tanpa disertai mahram termasuk sesuatu yang diharamkan karena untuk membendung penyebab (mencegah kepada haram karena dzatnya).

Perlu diperhatikan bahwa bepergian pada zaman kita sekarang ini tidak sama dengan bepergian tempo dulu yang penuh dengan karena harus melewati padang pasir, dihadang perampok, dan sebagainya. Bahkan bepergian sekarang sudah menggunakan alat-alat transportasi yang biasanya memuat banyak orang, seperti kapal laut, pesawat terbang, dan Bus. Hal ini menimbulkan rasa percaya dan menghilangkan kekhawatiran terhadap kaum wanita, karena ia tidak sendirian berada di suatu tempat.

Karena itu tidak mengapa seorang wanita pergi menunaikan haji dalam suasana yang penuh ketenangan dan keamanan ini.

Wabillahit Taufiq

(Fatwa – fatwa Kontemporer ; Jilid 1 ; hlm. 446 – Dr. Yusuf Qaradhawi)        

Tidak ada komentar: